Cermin
DARI CAKNUN.COM
#1. Keunggulan
Keunggulan kita atas orang lain tidak ditentukan oleh kenyataan bahwa kita lebih berkuasa, lebih pandai atau lebih kaya. Melainkan ditentukan oleh tingkat manfaat kita atas orang banyak.
Harga pribadi kita di tengah orang banyak tidak bergantung pada tingginya pendapatan ekonomi saya, oleh sukses karier kita, atau oleh simbol-simbol reputasi yang bisa kita pamerkan. Melainkan bergantung pada seberapa banyak yang bisa kita berikan kepada orang banyak.
#2 MISTERI KESABARAN
Salah satu kenyataan yang sangat misterius bagi keterbatasan akal manusia adalah praktek-praktek kesabaran Tuhan. Mungkin itu yang menyebabkan Tuhan bergelar Maha Sabar, bukan sangat sabar, atau juga bukan terlalu sabar.
Begitu banyak manusia menyakiti manusia: batas pengetahuan kita adalah bahwa terhadap itu semua Tuhan Maha Sabar. Begitu banyak orang mencuri hak orang lain, begitu banyak hamba Allah memeras dan menindas kedaulatan hamba Allah yang lain, tapi ilmu kita terbentur pada dugaan bahwa Allah Maha Sabar.
Saya menyebut itu misteri. Sebab pasti Tuhan memiliki takaran kesabaranNya sendiri, memiliki kearifan dan strateginya sendiri, serta memiliki komprehensi penyikapan sendiri dalam rangkaian maksud dan kehendak yang sungguh tak terhingga untuk mampu disentuh oleh kerdilnya akal manusia.
Dalam penderitaan separah apapun, semoga kita terlindung dari kecenderungan untuk bersangka buruk kepada Tuhan.
#3 BLESSING DAN NDILALAH
Kata kebenaran, padanannya adalah the thruth, atau bahasa Arabnya: al-haq. Kita pakai kata itu ketika menjelaskan firman Tuhan, teologi, hukum, moral dan lain sebagainya.
Sedangkan kebetulan, akronim yang dipakai biasanya adalah blessing in disguise. Bahasa Al Qur’annya “min haitsu la yahtasib”. Bahasa Kejawennya: ndilalah, atau lengkapnya ndilalah kersaning Allah.
Istilah kebetulan biasanya dipakai untuk menjelaskan nasib baik yang tak disengaja, keberuntungan yang di luar perhitungan. Ya itu tadi: min haitsu la yahtasib, dari sesuatu yang tidak engkau perhitungkan. Kalau saya dianiaya orang, saya langsung kutip kata-kata Allah itu: min haitsu la yahtasib!, ada sesuatu yang tak engkau sangka-sangka akan mendatangimu. Atau ndilalah, yang bahasa aslinya: ‘indallah, atas kehendak Allah.
Pertanyaan kita adalah: mosok kehendak Allah itu hanya kebetulan, dan bukan kebenaran.
#4. Penumpang Dari Gang
EMHA AINUN NADJIB
Kita para sopir taksi memiliki perhitungan tentang wilayah-wilayah tertentu pada jam-jam tertentu yang kira-kira banyak penumpang. Kita memilih lahan mencari nafkah berdasarkan perhitungan peta pasar penumpang.
Demikianlah akal kita membaca dunia dan kehidupan.
Tapi pada suatu siang kita lewat di suatu jalan, pada jam tertentu, menit tertentu dan detik tertentu — muncullah seseorang dari dalam sebuah gang, yang langsung melambaikan tangan memanggil taksi kita.
Bisakah akal kita memperhitungkan atau memperkirakan adegan itu? Bisakah kita mengetahui bahwa pada detik itu seseorang akan nongol dari gang dan memanggil kita? Kalau tidak, siapakah yang mengatur pertemuan di sebuah detik itu?
Kalau kita lebih cepat lima detik, maka taksi lain yang akan dipanggil oleh calon penumpang dari gang itu.
Apakah kalau kita lewat terlalu cepat maka kita simpulkan bahwa memang itu bukan rejeki kita, melainkan rejeki kawan sopir taksi di belakang kita? Ataukah kita sedang dirancang untuk mendapatkan rejeki berikutnya yang lebih besar dari calon penumpang yang lain yang entah di mana nanti akan mencegat kita?
#5 Sekilo Beras dan Sebiji Ilmu
EMHA AINUN NADJIB • 31 Desember 2012
Seorang kawan berkata: “Semakin banyak kita menuangkan ilmu, jumlah ilmu di dalam diri kita justru semakin banyak. Itulah bedanya dengan benda. Itulah beda antara roh dengan jisim”.
Saya memprotes: “Jangan terlalu banyak omong tentang rohani. Masyarakat kita masih belum terpenuhi problem jasmaninya: kelayakan hidup belum merata, lapangan kerja semakin timpang jumlahnya dibanding pencari kerja. Semua itu urusan benda. Kalau kamu terlalu banyak omong tentang kehebatan rohani, nanti orang makin mundur daya juangnya untuk memperadilkan perolehan benda, nafkah keluarga, biaya sekolah anak-anak dan lain-lain”.
Kawan kita tertawa: “Saya justru bicara tentang benda, tolol!”, katanya ketus, “Ilmu bisa melipatgandakan benda, tapi benda tidak begitu punya kecenderungan untuk memuaikan ilmu, melainkan mengkerdilkannya”.
“Itu juga masih terlalu filosofis!”, saya memotong, “Berbicaralah tentang sekilo beras, misalnya”.
“Benih sekilo beras adalah sebiji ilmu. Perjuangan membagi adil beras, dipanglimai oleh ilmu. Rasa malu untuk tidak menumpuk sendiri beras-beras kehidupan sementara banyak orang lain setengah mati mencarinya, adalah juga berkat panduan ilmu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar