Kamis, 09 Juni 2016

THORIQOT DAN SEJARAHNYA

Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti:
(1) jalan atau petunjuk jalan atau cara,
(2) Metode, system (al-uslub),
(3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab),
(4) keadaan (al-halah),
(5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
Sedangkan menurut istilah, Tarekat
berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-
Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy
mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1)   Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan
hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-halyang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan
bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqamaat"
dan "Al-Ahwaal".
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut
ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran
Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf
menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan
murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;
yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan
latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang,
maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu
untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqaamaat"
dan "Al-Akhwaal", meskipun kedua istilah ini ada segi prbedaannya.
Latihan kerohanian itu, sering juga disebut "Suluk", maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya
(perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah
metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu:
- sistem kerahasiaan,
-  sistem kekerabatan (persaudaraan)
- sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub.
Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll.
Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya :
Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Thoriqoh atau tarekat adalah suatu ilmu untuk mengetahui hal ihwal nafsu dan sifat-sifatnya yang ada pada diri manusia, mana yang tercela kemudian di jauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan.
Tarekat ini sendiri tergolong menjadi dua golongan, yaitu :
1.  tarekat muktabaroh
2.  tarekat yang tidak muktabaroh.
1. Tarekat muktabaroh adalah aliran tarekat yang memiliki sanad yang muttashil (bersambung) sampai kepada Rosuluwllah Saw. Sedang beliau sendiri menerimanya dari malaikat jibril dan malaikat jibril dari Aowllah SWT.
2.  tarekat yang tidak muktabaroh adalah aliran tarekat yang tidak memiliki sanad dan tidak muttashil sampi kepada Rosuluwllah.
Tetapi pada pelaksanaan dan prakteknya sama.Tariqah Pada BahasaKalimah Thariq berasal dari kekata “tharaqa” yang bererti memukul/memanjangkan, menyisir, mengetuk, melalui, mengucapkan, serta datang di malam hari. Thariq bererti tempat
berlalu yang luas dan panjang, melebihi luas jalan. Ia juga bererti jalan yang ditempuh oleh kelompok sufi, dijamakkan menjadi thuruq.Erti Thariq sama dengan tariqah yang bererti jalan, haluan
atau mazhab. Tariqah juga mempunyai erti yang menunjuk pada
segolongan orang-orang yang dipandang mulia. Iaitu orang-orang
yang dihormati dan diikuti oleh masyarakat kerana keluhuran
jiwanya. Pada masyarakat Arab biasanya digunakan kata-kata‘tariqah al-qaum’ yang bererti suri tauladan dan pilihan mereka
iaitu orang-orang yang dijadikan oleh sesuatu masyarakat sebagai
ikutan. Maka masyarakat tersebut mengikuti jalan mereka.
Tariqah Pada IstilahDalam Ilmu Tasawuf, Tariqah merupakan satu jalan atau
kaedah yang ditempuh menuju keridhaan Allah swt dengan amaliah zahir dan bathin sepertimana yang terkandung dalam
keluasan Ilmu Tasawuf. Adapun ikhtiar menempuh jalan itu lebih dikenali dengan istilah Suluk. Sedangkan orang bersuluk itu pula dipanggil Salik.
Dalam keterangan yang lain, dapat difahami bahwa tariqah
itu adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah
sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dan
dikerjakan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw, Tabi’in, Tab’i
Tabi’in turun temurun sehingga sampai kepada para ulama dan
guru-guru. Guru-Guru yang memberikan petunjuk dan bimbingan
ini dinamakan Mursyid. Mursyid peranannya membimbing dan
mengajar muridnya setelah memperolehi ijazah dari gurunya pula sebagai tersebut dalam silsilahnya. Dengan demikian ahli
Tasawuf berkeyakinan bahwa hukum-hakam serta peraturan-peraturan dalam ilmu Syariah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baik perlaksanaan melalui jalan Tariqah.
PENGGUNAAN KATA “TARIQAH” DALAM AL-QURAN
Di dalam Al-Quranul Karim, perkataan Tariqah digunakan
sebanyak 9 kali di dalam 5 surah. Pengertian tariqah di dalam Al-
Quran mempunyai beberapa pengertian. Antaranya ialah:-
1. Surah An-Nisa’ : 168
‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa)
mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka.’
2. Surah An-Nisa’ : 169
‘Melainkan jalan ke Neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.’
3. Surah Thoha : 63
‘Mereka berkata : Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
yang utama.’
4. Surah Thoha : 77
‘Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
Pergilah kamu dengan hambaKu (Bani Israil) di malam hari,
maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu,
kamu tidak usah khuatir akan tersusul dan tidak usah takut
(akan tenggelam).’
5. Surah Thoha : 104
‘Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika
berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka:
Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari
sahaja.’
6. Surah Al-Ahqaf : 30
‘Mereka berkata : Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab - kitab yang sebelumnya
lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang
lurus.’
7. Surah Al-Mukminin : 17
‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu
tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah
lengah terhadap ciptaan (Kami).’
8. Surah Al-Jinn : 11
‘Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang
soleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeza-beza.’
9. Surah Al-Jinn : 16
‘Dan bahawasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).’
Jika diperhatikan 3 bentuk kekata tharaqa digunakan di
dalam Al-Quran. Bentuk tersebut adalah:
1) Thariq – Jalan yang ditetapkan atau jalan yang dilalui oleh
manusia
2) Thariqah – Keutamaan atau kebenaran
3) Tharaiq – Berbentuk jamak dari perkataan thariq dan
thariqah. Mempunyai dua makna iaitu :
О Jalan yang nampak
О Aliran atau keadaan
ASAL USUL TARIQAH
Nabi Muhammad saw sebagai guru pertama umat Islam telah
membuka jalan (tariqah) yang pertama dan telah menyem-
purnakan tablighnya (penyampaiannya). Maka dengan ini tariqah
kaum muslimin keseluruhannya berpokok pangkal dari tariqah
Nabi Muhammad saw. Segala amal ibadah yang kita lakukan atau
tariqah yang kita amalkan adalah petunjuk yang kita terima dari
guru-guru kita. Mereka sebelumnya menerima dari para ulama.
Para ulama sebelumnya menerima dari para Tabi’ Tabi’in. Mereka
pula telah menerima dari para tabi’in yang telah menerima dari
sahabat yang langsung menerima dari Rasulullah saw. Rasulullah
saw telah menerima segala ajaran pula dari Jibril as dan Jibril pula
menerimanya dari Allah swt.
Perlaksanaan sunnah Nabi Muhammad saw yang terkandung
dalam Ilmu Fiqeh harus dilaksanakan melalui tariqah. Tidak
mencukupi hanya dari keterangan hadis–hadis Nabi Muhammad
sawsahaja tanpa ada sahabat yang melihat cara perlaksanaan Nabi
saw dalam sesuatu ibadah. Kemudian mereka pula menceritakan
kembali caranya kepada murid-muridnya iaitu para tabi’in dan
seterusnya. Apabila seseorang mempelajari ilmu Fiqehsebenarnya
ia sudah melakukan satu tariqah.
Apabila seorang guru mengajarkan ilmu sembahyang misalnya, ia pasti mengajar, membimbing dan menunjukkan cara
perlaksanaan yang betul, dengan niat yang sah, segala rukun
sembahyang sehingga dapat sembahyang itu akhirnya
dilaksanakan dengan sempurna. Semua bimbingan gurunya itu
dinamakan tariqah. Maka apabila perlaksanaan ibadah itu
meninggalkan kesan pada jiwanya dan dikerjakan secara
maksimal, maka ia akan menjadi Haqiqah, sedangkan hasilnya,
sebagai tujuan terakhir daripada semua perlaksanaan ibadah itu
ialah mengenal Tuhan sebaik-baiknya, atau dalam istilah Tasawuf
disebut mencapai Makrifatullah.
Syariah dan Tariqah adalah tidak lain daripada mewujudkan
perlaksanaan ibadah dan amal, sedangkan Haqiqah itu
memperlihatkan ahwal dan rahsia tujuannya. Dalam Ilmu Tasawuf penjelasan ini disebut: Syariah itu
merupakan peraturan. Tariqah itu merupakan perlaksanaan.
Haqiqah itu merupakan keadaan dan Makrifah itu adalah tujuan
yang terakhir iaitu mengenal Allah swt.
Imam As-Syeikh An-Naqsyabandi mengatakan:
“Syariah itu segala apa yang diwajibkan, dan Haqiqah itu segala
apa yang diketahui. Syariah itu tidak boleh terlepas dari Haqiqah dan
Haqiqah pula itu tidak boleh terlepas dari Syariah.”
Imam Malik pula berkata:
“Barangsiapa mempelajari Fiqeh sahaja dengan tidak mempelajari
Tasawuf, maka ia fasik. Barangsiapa mempelajari Tasawuf sahaja
dengan tidak mengenal Fiqeh, maka dia itu zindiq. Barangsiapa
mempelajari serta mengamalkan kedua-duanya itu, maka dia itulah
Mutahaqqiq, iaitu ahli Haqiqah yang sebenarnya.”
PANDANGAN PARA ULAMA MENGENAI TARIQAH
Disini kami sertakan beberapa pengertian Tariqah yang diusulkan
oleh para ulama.
# Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latiff di dalam kitabnya
Al-Ayatul Baiyinat :
“Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fiqh dan
Tasawuf”.
#Tuan Hj Abdullah Ujong Rimba di dalam kitabnya Ilmu
Thariqat dan Hakikat:
“Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai
sesuatu tujuan’.
# Dr Ahmad Tafsir di dalam artikelnya bertajuk Tarekat dan
Hubungannya Dengan Tasawuf mengatakan :
“Sufi-sufi besar seperti Al-Junaid, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali telah
merintis jalan-jalan yang berisi kaedah-kaedah dalam usaha mereka
masing-masing mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Kaedah-kaedah
itu…disebut maqamat, yang jumlah dan urutannya berbeda antara sufi
yang satu dengan sufi yang lain. Jalan itu sendiri oleh kaum sufi di
sebut Tariqah.”
SEJARAH TARIQAH
Islam merupakan agama lengkap yang menjangkau segala aspek
hidup, sama ada dalam menyediakan keperluan rohani dan jasmani manusia. Tujuan hidup manusia sesuai dengan fungsinya sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini adalah untuk
mencurahkan pengabdian yang sepenuhnya kepada Allah swt.
Amanah dan risalah agama tauhid telah berkembang turun temurun sejak Nabi Adam sehingga ke junjungan kita Nabi
Muhammad saw. Rasulullah saw telah mempamerkan qudwa yang baik menerusi ibadahnya, musyahadahnya, muraqabahnya dan segala tindak tanduknya. Ini jelas dapat dilihat dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw apabila diteliti.
Rasulullah saw telah membawa Islam ke suatu tahap yang sempurna dan menerapkan ajaran dasar iaitu tauhid ke dalam setiap manusia yang mengesakan Allah swt. Diikuti pula dengan
perlaksanaan penghambaan melalui peraturan-peraturan agama
dan syariat yang tercangkup dalam rukun Islam. Melalui contoh hidup beliau, Rasulullah saw menjadi petunjuk terbaik dalam perlaksanaan ajaran-ajaran tuhan yang diwahyukan itu.
Contoh kezuhudan Rasulullah saw adalah satu tarikan pula
buat sebahagian besar para sahabat terutama Sayyidina Abu Bakar ra, Sayyidina Omar ra, Sayyidina Uthman ra, Sayyidina Ali ra, Abu Zar Al-Ghiffari ra, Abu Hurairah ra dan ramai lagi untuk
mengikuti.
Para sahabat dan mereka yang mengikut ajaran Rasulullah saw telah memperjuangkan Islam secara zahir dan batin. Semasa pemerintahan Khulafa’ Ar-Rashidin, Islam telah tersebar luas
sehingga ke Mesir, Palestine, Syria, Iraq, Parsi, Byzantium dan
juga ke setiap pelusuk negara yang lain.
Setelah berlalu zaman Khulafa’ Ar-Rashidin dan kerajaan Bani
Umaiyyah, hampir semua para Khalifah yang menduduki takhta
telah meninggalkan kezuhudan dan kehidupan sederhana.
Mereka telah terpesona dengan kehidupan mewah dan kekuasaan
sehingga mereka berani melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak mengikut sunnah dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.
Perubahan sosio ekonomik dan politik pada zaman pemerintahan Bani Umaiyyah adalah titik tolak pelancaran suatu
aliran zuhud dan mengutamakan pembinaan rohani dalam Islam.
Sebenarnya aliran itu, tidak berniat untuk mengemukakan sesuatu yang baru atau di luar lingkungan agama Islam. Mereka
sebenarnya rasa terharu dengan perpecahan umat yang berlaku
ketika itu dan merindukan suasana kehidupan yang murni seperti
di zaman Rasulullah saw.
Maka pada kebelakangan era pemerintahan Bani Umaiyyah,
para zuhud tampil kehadapan terutama di Basrah dan Kufah.
Disanalah Hassan Al-Basri dikenali sebagai penggerak Sufi yang
terulung. Masa pemerintahan Abasiyyah pula bangkitlah golongan-golongan Sufi yang menggerakkan konsep-konsep
kerohanian. Pada zaman inilah sempadan Sufi mula melebar dari perlakuan zuhud ke peringkat ma’rifat ke lebih dalam. Ahli
sejarah menetapkan Sheikh Ma’ruf Al-Karkhi sebagai ulama Sufi yang mengemukan aliran ini. Konsep Sufi ini diteruskan oleh mereka seperti Abu Sulaiman Ad-Darani dan Zunnun Al-Masri
dan yang lainnya.
Kemunculan Imam Al-Ghazali pula menguatkan dan mendokong usaha pemikir-pemikir Sufi. Beliau bertang-
gungjawab menerapkan ilmu Tasauf dalam pemikiran dasar ilmu
Tafsir dan seterusnya menguatkan pengamalannya dalam Tariqah.
Tren yang berdasar luas dalam pergerakkan Tariqah di masa
pemerintahan Bani Abassiyah telah menarik ramai pengikut yang mempunyai latar belakang yang berbeza. Kemudian
perkembangan Tariqah begitu cepat sekali.
Di masa Al-Ghazali, Tariqah mencapai ekspresi yang lebih sistematik sebagai alat penyampaian Sufi. Dua faktor bertanggungjawab mempelopori
fenomena itu adalah Sheikh Tariqah dan para pengikutnya sehinggalah Tariqah itu tersebar luas dan diamalkan di setiap
pelusuk bumi sehingga ke hari ini.
TUJUAN DAN POKOK TARIQAH
Tariqah sebagai organisasi para salik dan sufi, pada dasarnya memiliki tujuan yang satu, iaitu Taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah swt. Akan tetapi sebagai organisasi, para salik yang
kebanyakan diikuti masyarakat awam merupakan para Mubtadi’in, maka dalam tariqah terdapat tujuan-tujuan yang lain
yang diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan pertama
dan utama tersebut. Sehingga secara garis besar, dalam Tariqah
terdapat tiga tujuan yang masing-masing melahirkan tatacara dan jenis-jenis amalan kesufian. Ketiga tujuan pokok tersebut adalah:
1. Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)
Ia merupakan satu proses penyucian jiwa yang akan menghasilkan ketenteraman, ketenangan dan rasa dekat dengan Allah swt dengan menyucikan hati dari segala
kekotoran dan penyakit hati atau penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang salik atau
ahli tariqah. Bahkan dalam tradisi tariqah, Tazkiyatun Nafs ini dianggap sebagai tujuan pokok. Dengan bersihnya jiwa
dari berbagai macam penyakit, akan secara langsung menjadikan seseorang dekat kepada Allah swt.
Zikrullah (Mengingati Dan Menyebut Allah) Adapun jalan atau cara menjalani proses Tazkiyatun Nafs
ini adalah dengan Zikrullah (mengingat Allah). Zikrullah merupakan amalan khas yang mesti ada dalam setiap Tariqah.
Yang dimaksudkan dengan Zikir dalam sesuatu tariqah
adalah mengingati Allah swt dan menyebut nama Allah swt,
baik secara Jahar (lisan) atau secara Sirr (rahsia).
Di dalamTariqah, zikrullah diyakini sebagai cara yang paling efektif untuk membersihkan jiwa dari segala macam kekotoran dan penyakit-penyakitnya sehingga hampir semua tariqah
menggunakan cara ini.
Selain zikrullah, Tazkiyatun Nafs ini juga diperolehi dengan:
О Mengamalkan Syariat
О Melaksanakan amalan-amalan sunnah
О Berperilaku zuhud dan wara’
2. Taqarrub (Mendekatkan Diri Kepada Allah swt)
Taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt merupakan antara tujuan utama para sufi dan ahli tariqah. Ini diupayakan
dengan beberapa cara yang tersendiri. Cara-cara tersebut dilaksanakan di samping perlaksanaan dan upaya mengingat Allah (zikir) secara terus-menerus, sehingga sampai tidak
sedetik pun seorang salik itu lupa kepada Allah swt. Antara cara yang biasanya dilakukan oleh para pengikut tariqah
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih berkesan
ialah :
Tawassul & Wasilah
Tawassul dan Wasilah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah yang biasa dilakukan di dalam tariqah adalah
suatu cara (wasilah) agar pendekatan diri kepada Allah swt dapat dilakukan dengan mudah dan ringan. Di antara bentuk-
bentuk Tawassul yang biasa dilakukan adalah meng-hadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada Syeikh yang memiliki
silsilah tariqah yang diikutinya sejak Nabi Muhammad saw sampai kepada mursyid yang mengajar zikir kepadanya.
Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah ialah duduk bertafakkur atau mengheningkan perbuatan dengan penuh kesungguhan hati, dengan seolah-
olah berhadapan dengan Allah swt. Meyakinkan diri bahawa
Allah swt senantiasa mengawasi dan memerhatikannya.
Sehingga dengan latihan Muraqabah ini, seorang salik akan
memiliki nilai Ihsan yang baik, dan akan dapat merasakan
kehadiran Allah swt di mana sahaja dan pada setiap masa.
Khalwat & Uzlah (Mengasingkan Diri)
Khalwat atau uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk urusan duniawi. Sebahagian tariqah tidak mengajarkan
Khalwat ini dalam keadaan fizikal, kerana mengikut golongan ini khalwat cukup dilakukan menerusi kehadiran hati
(Khalwat Qalb). Sedangkan sebahagian tariqah yang lain, mengajarkan Khalwat atau Uzlah secara fizikal, sebagai
pengajaran untuk membawa penuntutnya dapat melakukan Khalwat Qalb. Ajaran tentang khalwat ini dilaksanakan
dengan mengambil iktibar dari amalan Rasulullah saw pada menjelang masa pengangkatan kenabiannya. Dalam
perlaksanaan Khalwat ini diisi dengan berbagai Mujahadah
demi mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam tradisi sebahagian tariqah di rantau Nusantara ini, Khalwat ini lebih
dikenali dengan Suluk.
3. Tujuan-Tujuan Lain
Tariqah sebagai kumpulan yang menghimpunkan para calon
sufi atau Salik, yang kebanyakannya terdiri dari masyarakat awam dan kedudukan mereka itu berperingkat Mubtadi’in
(permulaan), maka dalam tariqah terdapat amalan-amalan yang menyesuaikan kepada keadaan masyarakat awam.
Amalan-amalan tersebut bertujuan mengharapkan sesuatu
imbalan ataupun pertolongan dalam melaksanakan tujuan
pengamalan tersebut. Kadang kalanya amalan-amalan inilah
yang biasanya memenuhi masa ruang para Salik. Di antara
amalan-amalan tersebut ialah :
- Wirid
Wirid adalah suatu amalan yang harus dilaksanakan secara
istiqamah (berterusan), pada waktu-waktu yang khusus
seperti setiap selesai mengerjakan sembahyang atau pada
waktu-waktu tertentu yang lain. Wirid ini biasanya berupa
potongan-potongan ayat, selawat atau pun nama-nama Allah.
Perbezaannya dengan zikir adalah kalau zikir itu
diijazahkan oleh seorang Mursyid dalam proses Bai’ah atau
Talqin atau Hirqah. Sedangkan wirid tidak semestinya harus
diijazahkan oleh seorang Mursyid dan tidak diberikan dalam
suatu proses perjanjian (bai’ah). Sedangkan dari sudut tujuan
juga memiliki perbezaan antara keduanya. Zikir hanya
dilakukan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt, sedangkan wirid biasa dikerjakan untuk kepentingan-
kepentingan tertentu yang lain, umpama memohon
keberkahan rezeki, pertolongan dan sebagainya.
- Ratib
Ratib adalah amalan yang harus diwiridkan oleh para pengamalnya. Tetapi Ratib ini merupakan kumpulan dari
beberapa potongan ayat atau surah-surah pendek yang digabungkan dengan bacaan-bacaan lain seperti Istighfar,
Tasbih, Selawat, Asmaul Husna, Kalimah Thayyibah dalam suatu jumlah yang telah ditentukan dalam pengamalan yang
khusus. Ratib ini biasanya disusun oleh seorang mursyid besar
dan diberikan secara ijazah kepada para muridnya. Ratib ini
juga biasa diamalkan oleh seorang dengan tujuan untuk
meningkatkan kekuatan rohani dan merupakan wasilah
(perantaraan) dalam doa untuk kepentingan hajat-hajat yang
khusus.
- Hizib
Hizib pula adalah suatu doa yang panjang, dengansusunan perkataan dan bahasa yang indah disusun oleh
seorang sufi besar. Hizib ini biasanya merupakan doa pelindung bagi seorang sufi yang juga diberikan kepada
muridnya secara ijazah. Hizib diyakini oleh kebanyakan masyarakat Islam sebagai amalan yang dimiliki daya yang
sangat besar terutama jika diperhadapkan dengan ilmu-ilmu ghaib dan kesaktian.
- MANAQIB
Manaqib sebenarnya adalah biografi seorang sufi besar
atau wali Allah seperti As-Syeikh Abdul Qadir Jailani dan
Syeikh Bahauddin An-Naqsyabandi. Diyakini oleh para
pengamal tariqah sebagai mempunyai suatu kekuatan rohani
dan barakah. Bacaan manaqib ini seringkali dijadikan sebagai
amalan, terutama untuk mengingati sejarah dan perjuangan
para waliyullah dan untuk tujuan terkabulnya segala hajat-
hajat yang baik dan khusus.
Secara rumusan, pokok dari semua Tariqah itu ada lima :
Pertama – Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut
paut dengan perlaksanaan segala perintah-perintah syara’.
Kedua – Mendampingi guru-guru dan teman setariqah untuk
melihat bagaimana cara melakukan sesuatu ibadah.
Ketiga – Meninggalkan segala Rukhsah dan Ta’wil untuk
menjaga dan memelihara kesempurnaan amal.
Keempat – Menjaga dan mempergunakan waktu serta
mengisikannya dengan segala wirid dan doa guna kekhusyukan
dan kehadiran jiwa.
Kelima – Mengekang diri, jangan sampai keluar melakukan
hawa nafsu dan supaya diri itu terjaga daripada kesalahan.
INTISARI DALAM TARIQAH
1. Guru atau Mursyid
Syeikh atau guru mempunyai kedudukan yang penting dalam Tariqah. Ia juga sering dikenali dengan panggilan Mursyid (yang
memberi petunjuk). Seorang guru tidak sahaja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan zahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang daripada
ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kepada perbuatan maksiat,
berbuat dosa besar atau kecil, yang segera harus ditegurinya.
Akan tetapi peranannya juga lebih dari itu, adalah sebagai pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya dalam
Tariqah. Ia merupakan perantaraan dalam ibadah antara murid dan Tuhannya. Ini dikaitkan dengan peranan Rasulullah saw
didalam membimbing para sahabat menuju kepada penghambaan
kepada Allah. Seorang syeikh dalam Tariqah membimbing muridnya dengan
memberikan pengajaran zikrullah melalui proses Bai’ah (perjanjian).
Dan kedudukan syeikh itu haruslah bersilsilah dengan para gurunya
pula di mana dia memperolehi ajaran Tariqah tersebut. Oleh kerana itu jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh orang sembarangan walaupun ia mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang Tariqah. Di samping menerima ijazah dari guru sebelumnya sebagai penerus pemimpin tariqah, seorang syeikh itu
haruslah mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan bathin yang murni.
Berbagai-bagai julukan nama yang tinggi diberikankepadanya menurut kedudukannya. Antaranya:
a. Mursyid : Orang yang memberikan petunjuk (Irsyad)Sheikh Nama yang sering dikaitkan sebagai guru, ketua atau pemimpin
b. Murabbi : Orang yang mengajarkan ilmu pendidikan (tarbiah) Maulana Gelaran ‘tuan’ guru yang sudah mencapai darjat tinggi
c. Mua’allim : Guru yang memberikan ilmu Mudarris Pengajar atau pengurus satu pengajian
d. Muaddib : Guru yang mengajar adab atau tatasusila.Manusia dipanggil ‘adib’ dalam hubungan dengan Khaliq (Penciptanya)
e. Ustaz : Gelaran biasa bagi seorang guru. Ia lazim sekali digunakan dalam rantau sebelah sini, terutama di Singapura, Malaysia dan Brunei. Tetapi di Indone-
sia sering ustaz itu dipanggil kiyai.
f. Nussak : Orang yang mengerjakan segala amal dan perintah agama
g. Ubbad : Orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadah
h. Imam : Pemimpin bukan sahaja dalam soal ibadah, bahkan juga dalam sesuatu aliran keyakinan
i. Sadah : Bererti Penghulu. Gelaran ini juga kadangkala diberikan kepada seorang guru sebagai penghormatan atau orang yang dihormati dandiberi kuasa yang penuh.
2. Murid atau Salik
Pengikut sesuatu tariqah itu dinamakan murid, iaitu orang
yang menghendaki pengetahuan dalam segala amal ibadahnya.
Murid itu terdiri dari lelaki dan perempuan, tua mahupun muda.
Dalam tariqah, seorang murid itu tidak hanya berkewajipan
mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan segala
sesuatu yang dilatihkan guru kepadanya yang merupakan pokok
asal dari ajaran-ajaran sesuatu Tariqah. Bahkan ia harus patuh
dan beradab kepada syeikhnya, dirinya sendiri mahupun terhadap
saudara-saudaranya setariqah serta orang Islam yang lain. Segala
sesuatu yang bertalian dengan itu, diperhatikan dengan sungguh-
sungguh oleh Mursyid sesuatu tariqah, kerana kepada keperibadian murid-muridnya itulah bergantung yang terutama berhasil atau tidak perjalanan suluk tariqah yang ditempuhnya.
Pelajaran-pelajaran kesufian dan latihan-latihan tariqah itu akan kurang faedahnya, jika ianya tidak meninggalkan perubahan budi pekerti dan peningkatan amaliah murid-murid itu.
3. Talqin dan Bai’ah
Talqin dalam istilah Tasawuf adalah pengajaran dan peringatan yang diberikan oleh seorang Mursyid kepada muridnya
yang hendak mempelajari beramal mengikut perjalanan tariqahnya. Manakala Bai’ah pula bererti perjanjian (‘ahad) kesanggupan kesetiaan seorang murid di hadapan gurunya untuk
mengamal dan mengerjakan segala amalan dan kebajikan yang diperintahkan oleh gurunya. Talqin dan bai’ah dalam perlaksanaan adalah sesuatu yang
asas dan menjadi pokok pengamalan dalam tariqah. Seorang murid sebelum mengamal, terlebih dahulu harus mendapatkan Bai’ah dan berjanji dengan gurunya dengan penuh kesetiaan.
Dengan menjalani proses perjanjian ini, ia akan dapat memberi kesan yang mendalam kepada orang yang menerima
pengajaran itu dan dapat menguatkan tali ikatan perguruan dan persaudaraan kukuh yang tidak akan putus antara seorang murid dan gurunya juga meninggalkan pengertian yang sangat mendalam
dan cara-cara serta adab yang akan ditinggalkan dalam ingatan kedua belah pihak. Kebiasaannya, seorang Syeikh atau Mursyid akan memberikan pengajaran Zikrullah kepada muridnya sebagai
amalan pokok dalam tariqah. Zikrullah yang diajarkan berupa kalimah Tauhid ‘La Ilaha Illallah’ diajarkan kepada murid dengan cara pengamalan yang khusus, terutama melafazkan kalimah ini
dengan lafaz yang bersuara dan juga di dalam hati. Inilah cara yang pernah dipelajari dan diambil oleh Sayidina
Abu Bakar As Siddiq ra dan Sayidina Ali Bin Abi Thalib ra daripada Rasulullah saw sehingga melaksanakan zikir dengan
kalimah ini dapat meresap teguh sampai ke dalam hati. Terdapat banyak hadis yang menerangkan peristiwa Nabi Muhammad saw mengambil ‘ahad (perjanjian) pada waktu membai’atkan para sahabatnya, secara perseorangan dan berjamaah.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tabrani dari Syaddad Bin Aus
bahawa Rasulullah saw pernah mentalkin sahabat-sahabat beliau
secara berjamaah dan perseorangan. Pada suatu hari ketika kami berada
dekat Nabi saw dan beliau bersabda,:
“Adakah di antara kamu orang
asing?” (yakni Ahli kitab).
Maka saya menjawab: ‘Tidak ada’.
Lalu Rasulullah saw berkata,
“Angkatlah tanganmu dan ucapkanlah La
Ilaha Illallah”. Lantas beliau menyambung, “Segala puji bagi Allah
wahai Tuhanku, Engkau telah mengutus aku dengan kalimah ini dan
Engkau menjadikan dengan ucapannya kurnia syurga kepadaku dan
bahawa Engkau tidak sekali-kali memungkiri janji”.
Kemudian beliau berkata:
“Ketahuilah, gembiralah. Sesungguhnya Allah swt telahmengampuni kamu sekelian.”
Terdapat juga sesetengah kumpulan tariqah yang menjalankan
proses perjanjian dan talqin dengan cara yang berlainan iaitu dengan Wasiat, Ijazah dan Khirqah.
Ijazah dan Wasiat
merupakan kekuasaan seorang guru dalam bentuk surat keterangan yang memberi kekuasaan kepada seorang
murid untuk mengamalkan sesuatu atau selanjutnya mengajarkan
pengamalan tariqah itu kepada orang lain.
Manakala Khirqah pula berupa sepotong kain atau pakaian yang pada kebiasaannya dari bekas pakaian seorang guru yang diberikan kepada murid atau memakainya sebagai mengikat ikatan
perguruan dalam pengamalan tariqah. Ini akan menghasilkan keberkahan dan dianggap suci dan menjadi kenang-kenangan bagi seorang murid.
4. Silsilah
Silsilah bagi seorang Syeikh atau Mursyid merupakan sesuatu
yang penting untuk mengajar dan memimpin sesuatu tariqah.
Mereka yang menggabung diri kepada sesuatu tariqah, hendaklah
mengetahui benar-benar nisbah atau hubungan guru-gurunya yang
sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Ini dianggap perlu dan sesuatu yang darurat
kerana ia memberikan petunjuk kepada seorang murid. Bantuan
kerohanian yang diambil guru-gurunya itu harus benar, dan jika
tidak berhubungan sampai kepada Nabi Muhammad saw, maka
bantuan itu dianggap terputus dan tidak merupakan warisan
daripada Nabi saw. Seorang murid dalam tariqah hanya membuat
perjanjian dengan gurunya dan tidak menerima Bai’ah, Talqin,
Ijazah, Wasiat atau Khirqah tanda kesanggupan dan kesetiaan,
kecuali kepada Mursyid yang mempunyai silsilah yang baik dan
benar.
Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang panjang
yang satu bertalian dengan yang lain, dari kedudukan Mursyid
hingga kepada Rasulullah saw. Barangsiapa yang tidak ada
hubungan dengan Nabi sawia dianggap terputus limpahan cahaya
dan tidak menjadi waris Rasulullah saw. Orang yang demikian
tidak dibolehkan mengambil Bai’ah daripadanya dan ia tidak boleh
memberi atau diberi Ijazah. Barangsiapa yang mengamalkan
tariqah tetapi tidak mengenal nenek moyangnya (silsilah) dari
para Masyaikh, ia ditolak dan tidak diakui.
Setiap orang yang tidak mempunyai syeikh (Mursyid) yang
memberi bimbingan kepada jalan keluar dari sifat sifat tercela,
maka dia dianggap maksiat kepada Allah dan RasulNya kerana
dia tidak dapat petunjuk mengenai jalan mengubatinya.
Walaupun ia mengamalkan segala perkara yang bersifat aktif
ataupun menghafal seribu buku tidaklah bermanfaat dengan tidak
berguru atau mempunyai Syeikh.
Beberapa Macam Tarekat
Dari : Syekh Muda Ahmad Arifin
Oleh karena Tarekat itu bermakna jalan, maka jalan itu sendiri pun bermacam-macam; ada jalan datar, ada jalan mendaki, ada jalan yang lurus, ada jalan yang berkelok-kelok, ada jalan rusak, bahkan ada jalan yang buntu. Dari sekalian jalan yang ada tentu kita harus memilih jalan yang terbaik di antaranya. Yang paling penting tentunya adalah kita harus tahu bahwa jalan (Tarekat) yang kita pilih adalah jalan yang dapat menyampaikan kita ke tempat yang kita tuju, sebab bila kita tidak tahu jalan atau salah memilih jalan tentu kita akan tersesat dan tidak akan sampai ke tempat tujuan. Demikian halnya dengan Tarekat, menurut Syekh Muda Ahmad Arifin tidak semua Tarekat itu benar dan dapat diikuti. Oleh sebab itu kita harus selektif dalam memilih Tarekat, sebab Tarekat itu banyak macamnya.
Menurut Abubakar Aceh, bahwa di Indonesia telah ada badan yang khusus menumpahkan perhatiannya kepada Tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarannya. Hal ini dinamakan dengan
Tarekat Mu’tabaroh . Seorang tokoh Tarekat terkemuka, Syekh H. Jalaluddin, telah banyak menulis tentang Tarekat-tarekat, terutama tentang Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Syekh H. Jalaluddin mengemukakan bahwa di antara Tarekat yang mu’tabar itu ada 41 macam, yaitu : Tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Rifa’iyyah, Ahmadiyyah, Dasukiyyah, Akhbariyyah, Maulawiyyah, Qubrawiyyah, Suhrawardiyyah, Khalwatiyyah, Jalutiyyah, Bakhdasiyyah, Ghazaliyyah, Rumiyyah, Jastiyyah, Syabaniyyah, ‘Alawiyyah, Usyaqiyyah, Bakriyyah, Umariyyah, Usmaniyyah, ‘Aliyyah, Abbasiyyah, Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghaibiyyah, Hadiriyyah, Syattariyah, Bayumiyyah, Aidrusiyyah, Sanbliyyah, Malawiyyah, Anfasiyyah, Sammaniyyah, Sanusiyyah, Idrisiyyah, Badawiyyah.
Bahkan menurut pengamatan Martin Van Bruinessen, di Indonesia terdapat macam-macam Tarekat dan organisasi yang mirip Tarekat. Beberapa di antaranya hanya merupakan Tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru tertentu, umpamanya Wahidiyyah dan Siddiqiyyah di Jawa Timur atau Tarekat Syahadatin di Jawa Tengah, sehingga untuk menarik garis perbedaan yang tegas antara Tarekat semacam ini dengan aliran kebatinan hampir-hampir mustahil.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, tidak ada jaminan bahwa Tarekat-tarekat yang dianggap mu’tabaroh (yang telah diselidiki kebenarannya) dapat dijadikan sebagai jaminan bahwa Tarekat-tarekat tersebut adalah Tarekat yang benar yaitu Tarekat yang dapat menyampaikan pengenalan kepada Allah. Jadi sesungguhnya orang yang bertarekat sekalipun belum tentu ada jaminan bahwa dengan Tarekatnya itu ia dapat mengenal Allah. Kalau orang yang bertarekat saja belum tentu dapat mengenal Allah, apalagi orang yang tidak bertarekat, tentu mustahil dapat mengenal Allah, sebab tanpa berjalan (bertarekat) mustahil ia sampai ke tempat yang dituju.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin ada tiga syarat suatu Tarekat dianggap benar dan dapat diikuti.
Apapun nama Tarekatnya tidak boleh diterima bila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi :
1. Silsilah Tarekatnya harus dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib. Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, apapun nama Tarekatnya bila silsilahnya tidak dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib, maka Tarekatnya tidak boleh diterima. Harus ada pembuktian berupa Hadis dari Nabi bahwa sahabat tersebut telah terbukti menerima Tarekat dari Nabi. Adapun Hadis yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :
ﻭَﻋَﻦْ ﻋَﻠِﻰٍّ ﻛَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺟْﻬَﻪُ : ﻗُﻠْﺖُ ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻱُّ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔِ ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺃَﺳْﻬَﻠُﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋِﺒَﺎﺩِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺃَﻓْﻀَﻠُﻬَﺎ ﻋِﻨْﺪَﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻳَﺎﻋَﻠِﻰُّ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺑِﺪَﻭَﺍﻡِ ﺫِﻛْﺮِﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋَﻠِﻰُّ ﻛُﻞُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳَﺬْﻛُﺮُﻭﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺹ ﻡ : ﻳَﺎﻋَﻠِﻰُّ ﻻَﺗَﻘُﻮْﻡُ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔُ ﺣَﺘَّﻰ ﻻَﻳَﺒْﻘَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻪِ ﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮﻝُ , ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﻋَﻠِﻰُّ ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺫْﻛُﺮُ ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺹ ﻡ : ﻏَﻤِّﺾْ ﻋَﻴْﻨَﻴْﻚَ ﻭَﺍَﻟْﺼِﻖْ ﺷَﻔَﺘَﻴْﻚَ ﻭَﺍَﻋْﻠَﻰ ﻟِﺴَﺎﻧَﻚَ ﻭَﻗُﻞْ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ .
Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.
Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah . Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata :
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺑِّﻰ ﺑِﻌَﻴْﻦِ ﻗَﻠْﺒِﻰ , ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻻَﺷَﻚَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﻠﻪُ
“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.
Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata :
ﺍَﻧَﺎ ﻣَﺪِﻳْﻨَﺔُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻭَﻋَﻠِﻰ ﺑَﺎﺑُﻬَﺎ
“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.
Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar
“Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah. Kemudian Ilmu Tarekat ini Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada Daud Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi. Kemudian timbulah menjadi ilmu pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf. Jadi syarat utama untuk menjadi seorang guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai
maqam fana fillah dan tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini. Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima, apalagi bila ada tokoh suatu pendiri Tarekat yang mengaku bahwa ia telah menerima Tarekat dari Nabi secara langsung lewat mimpi, maka itu adalah hal yang mustahil. Sebagai contoh adalah Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Mukhtar al-Tijani. Ia lahir di Mahdi pada tahun 1150 M dan wafat tahun 1230 M. Hasrat al-Tijani untuk mengembangkan ajaran Tarekatnya adalah bermula dari pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW lewat mimpinya. Ia mendapatkan pelajaran dari Nabi SAW tentang beberapa wirid dan zikir, kemudian diberikannya ijazah untuk diajarkan kepada orang lain. Oleh sebab itu kita perdapati di dalam silsilahnya dari Nabi langsung ke al-Tijani, karena ia telah memperoleh Tarekat secara langsung lewat mimpi. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bodohlah tentunya yang mau menerima ajaran Tarekatnya, sebab apabila Ilmu Tarekat dapat diperoleh lewat mimpi atau ilham, maka batallah Hadis Nabi yang mewajibkan kaum muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu.
2.  Kebenaran ajaran Tarekatnya harus dapat diuji, tidak bertentangan dengan akal dan tidak bertentangan dengan Ilmu Syari’at serta harus berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah. Kebenaran suatu Tarekat dapat diketahui lewat ajaran-ajaran yang disampaikan sang
mursyid yang menjadi pemimpin Tarekat tersebut. Tujuan orang bertarekat adalah untuk mengenal yang ghaib yaitu Allah. Bagi Ahli Tarekat Allah itu tidak ghaib, maka apabila sang mursyid dengan ajaran Tarekatnya tidak dapat menyingkap yang ghaib (Allah) itu menjadi nyata bagi murid-muridnya, maka Tarekatnya tidak boleh diterima. Sebagai contoh misalnya, ketika mengucapkan dua kalimah syahadat, sang mursyid harus dapat mempraktekkan bagaimana cara menyaksikan Allah, agar sesuai antara ucapan dan perbuatan. Apabila bagi sang
mursyid sendiri Allah itu masih ghaib bagaimana mungkin ia dapat menyampaikan pengenalan tentang Allah kepada murid-muridnya. Selain itu ajaran Tarekat yang disampaikan oleh sang mursyid tidak boleh bertentangan dengan akal dan syari’at agama. Oleh sebab itu Syari’at harus tunduk kepada Hakikat dan begitu juga Hakikat harus tunduk kepada Syari’at dan kedua-duanya tidak boleh ada pertentangan dan saling menyalahi
3. Harus ada pembuktian berupa ijazah dari guru sebelumnya. Salah satu syarat untuk menjadi
mursyid yang bertugas sebagai penyampai Ilmu Tarekat adalah harus memperoleh ijazah atau izin dari guru sebelumnya. Pemberian ijazah ini sesuai dengan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh sang murid. Ada dua jenis ijazah yang diberikan kepada murid dengan gelar yang berbeda. Ijazah dengan gelar ”Khalifah” diberikan oleh sang mursyid bila murid tersebut dianggap telah memenuhi syarat sebagai Khalifah. Adapaun ijazah dengan gelar ”Syekh” hanya diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah. Berdasarkan perbedaan gelar tersebut, maka peran dan fungsinya juga berbeda. Murid yang memperoleh gelar Khalifah hanya diberi izin sebatas memberikan bai’at dan memimpin pelaksanaan tawajjuh , namun ia tidak diberi izin untuk memimpin khalwat/persulukan bagi murid-muridnya, sebab hanya mereka yang telah mencapai tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah yang dapat memimpin khalwat. Adapun murid yang telah memperoleh ijazah dengan gelar ”Syekh”, maka ia diberi izin untuk memberikan bai’at dan memimpin khalwat bagi murid-muridnya. Oleh sebab itu seorang Khalifah hanya dapat memberikan gelar Khalifah kepada murid-muridnya dan tidak dapat memberikan gelar ”Syekh” kepada murid-muridnya. Sebaliknya seorang Syekh dapat memberikan gelar ”Syekh” dan ”Khalifah” kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu maju dan mundurnya suatu Tarekat bergantung pada kualitas murid-muridnya. Murid yang berkualitas adalah murid yang bersungguh-sungguh di dalam belajar. Hanya murid-murid yang berkualitaslah yang dapat mencapai maqam fana fillah . Apabila maqam tersebut tidak dapat dicapai oleh murid-murid yang menjadi penerus Tarekat dikemudian hari maka hal ini akan mengakibatkan kemunduran Tarekat tersebut. Inilah yang menjadi penyebab mengapa suatu Tarekat yang dahulunya memiliki kemasyhuran semasyhur pemimpin Tarekatnya, malah justru belakangan hari oleh para penerusnya Tarekat tersebut tidak memiliki kemasyhuran lagi dan mungkin tidak berbobot lagi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu Tarekat. Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”. Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori. Oleh sebab itu Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat. Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :
ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻜُﻦْ ﻣَﻊَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻮْﺻِﻠُﻚَ ﺍِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
Berdasarkan keterangan Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :
ﻣَﻦْ ﻻَﺷَﻴْﺦٌ ﻣُﺮْﺷِﺪٌ ﻟَﻪُ ﻓَﻤُﺮْﺷِﺪُﻩُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ
Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.
Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat dikenal.
Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita petunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan. Dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah ( ma’rifatullah ), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat, apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam Tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT. Dengan bahasa yang lebih mudah, bila diibaratkan sebagai sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Allah tidak cukup hanya dengan pembuktian melalui dalil Naqli (Ayat-ayat dan Hadis) dan dalil Aqli (Akal) semata, akan tetapi untuk memperoleh pengenalan kepada Allah anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar anda mengenal Tuhan yang anda sembah sampai kepada tingkat makrifat yaitu dapat menyaksikan Allah SWT.
Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud. Jangankan ilmu makrifat kepada Allah, yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di Fakultas Kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (Dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli), maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
Orang yang mengaku bisa mengenal Allah hanya dengan mengandalkan Ilmu Kalam dan membaca tentang agama dari bahan bacaan saja, serta kemudian mengingkari posisi penting Guru tidak lain karena kesombongan semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa mengenal Allah dengan hanya sekedar membaca. Guru yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh pengakuan juga dari Guru sebelumnya, secara sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Apabila jalan kaum Sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan syekh Izuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia Tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah”. Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar Syari’at kemudian memasuki dunia Tasawuf keduanya berkata,
“Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan)”.
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang mengenal Allah SWT., sebagaimana ucapan rendah hati Musa kepada Khaidir,
“Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (Q.S. al-Kahfi : 66).
Iman Al-Ghazali juga mencari seorang Syekh yang menunjukkan ke jalan Tasawuf/Tarekat, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izuddin ibn Abdussalam berkata,
“Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”.
Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata,
“Apabila kedua ulama besar ini, yakni Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang Syari’at, maka orang selain mereka tentu lebih membutuhkan lagi.”
Jadi tidaklah berlebihan jika para Sufi mengatakan bahawa mempelajari Ilmu Tarekat itu wajib hukumnya sekalipun sebesar-besar ulamaُ  :
ﻃَﻠِﺐُ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦُ ﻭَﺟِﺐٍ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺮِﻳْﺪٍ ﻭَﻟَﻮْ ﻣِﻦْ ﺍَﻛْﺒَﺮِﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ
“Bermula belajar kepada Syaikh (menuntut ilmu Tarekat) itu wajib hukumnya walau sebesar-besar ulama.”
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mempelajari Ilmu Tarekat . Makna wajib di sini yaitu tidak boleh tidak, sebab tanpa bertarekat mustahil kita dapat mengenal Allah dan orang yang tidak kenal Allah sudah barang tentu “sesat” sebab ia tidak mengenal yang disembahnya, maka seluruh amal ibadahnya sia-sia dan tak akan dapat melepaskan azab Allah sebagaimana Hadis Nabi :
ﻻَﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻌِﻴْﺒَﺪَﺓُ ﺍِﻻَّ ﺑِﻤَﻌْﺮِﻓَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ
Artinya : “Tidak sah amal ibadah tanpa pengenalan kepada Allah
Oleh sebab itu siapa saja orang yang mengaku beragama Islam dan beriman kepada Allah, maka ia harus memiliki guru yang dapat mengenalkan ia kepada Allah, atau dengan kata lain, ia harus bertarekat atau bertasawuf.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Malik :
ﻣَﻦْ ﺗَﻔَﻘَّﻪَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺗَﺼَﻮُّﻑٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺗَﻔَﺴَّﻖَ ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﺼَﻮُّﻑَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺗَﻔَﻘُّﻪٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺗَﺰَﻧْﺪَﻕَ ﻭَﻣَﻦْ ﺟَﻤَﻊَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺗَﺤَﻘَّﻖَ
Artinya: Barangsiapa mempelajari fiqih saja tanpa mempelajari tasawuf maka dihukumkan fasiq, dan barangsiapa mempelajari tasawuf saja tanpa mempelajari fiqih maka dihukumkan zindiq (menyimpang dari ajaran agama).
Dan barangsiapa yang mempelajari kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang sesungguhnya.
Imam Malik berpendapat demikian karena
dilatarbelakangi oleh Sabda Nabi SAW:
ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔُ ﺑِﻼَ ﺣَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﻋَﺎﻃِﻠَﺔُ ﻭَﺍﻟْﺤَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﺑِﻼَ ﺷَﺮِﻳْﻌَﺔٍ ﺑَﺎﻃِﻠَﺔٌ
Artinya: “Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah).
Maka i’tibar yang kita ambil dari keterangan Imam Malik tersebut, bahwa siapapun diantara orang Islam yang tidak bertasawuf dengan melakukan aqidah dan syariah, hukumnya ialah fasik.
Setiap larangan untuk meninggalkannya, berarti perintah untuk melakukannya. Pokok pengertian tentang perintah, hukumnya wajib. Dalam hal ini Imam Ali Addaqqaq mengambil kesimpulan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Risalah al-Qusyairiah:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔَ ﺣَﻘِﻴْﻘَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﺃَﻳْﻀًﺎﺷَﺮِﻳْﻌَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺭِﻑَ ﺑِﻪِ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻩِ .
Artinya: Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya Syariat itu adalah Hakekat. Bahwa sesungguhnya Syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. Demikian juga Hakekat adalah wajib hukumnya dan bahwa sesungguhnya terhadap mengenal Allah swt. adalah wajib hukumnya dikarenakan perintah Allah
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari Guru Pembimbing ( Mursyid ) yang siap menuntun dan membimbing kita untuk mencapai pengenalan kepada Allah SWT. carilah Guru yang benar-benar kammil-mukammil , yang tidak hanya pandai berbicara tentang teori ketuhanan, tetapi juga ahli di dalam praktek bertauhid yang dapat mengenalkan anda kepada Allah yang ghaib, sehingga anda dapat beribadah secara khusyuk karena anda telah mengenal Tuhan yang anda sembah. Abu Atha’ilah as-Sakandari dalam Latha’if al-Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan Mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.
Berdasarkan penjelasan di atas cukup jelas bagi kita bahwa mempelajari Tarekat hukumnya adalah wajib. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mengetahuinya, dan kalau pun mereka mengetahuinya, mereka akan tetap enggan untuk mempelajarinya. Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin ada empat sebab orang tidak mau mempelajari Tarekat :
1. Jika seorang Guru Besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi murid.
2. Jika orang pintar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi bodoh.
3. Jika orang besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi kecil
4. Jika orang tua kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi anak-anak.
Keempat hal di atas merupakan penyebab utama yang membuat orang enggan untuk bertarekat meskipun mereka mengetahui kebenaran ajaran dari suatu Tarekat. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuknya kepada kita semua. Amin.
KESIMPULAN
Keperibadian manusia telah disemai sebagai sebaik-baik
penciptaan yang Allah swt mengutamakan atas segala penciptaan
yang lain. Kecemerlangan penciptaan yang dinamakan insan ini
memerlukan panduan yang sebaik-baiknya baik mengharungi
buaian gelora dunia. Tujuannya tiada lain melainkan supaya
insan ini akan pulang ke pangkuan Tuhannya dalam keadaan
sebaik-baiknya sepertimana keadaannya ketika dalam mula-mula
kejadian. Dengan motif mencapai kesempurnaan disisi Allah
inilah, ilmu Tasawuf dan jalan Tariqah, para sufi mengutamakan.
Tiada lain melainkan keredhaan Ilahi yang diharapkan, supaya
kepulangannya membawa kepada pengucapan salam dari
Penciptanya.
Dengan ini kami akhiri pembentangan suatu khazanah Islam
yang unggul ini dengan harapan ianya menjadi wasilah bagi
mencerminkan segelintir isi kandungan yang terkandung didalam
ilmu yang besar ini. Semoga ianya menjadi alat bagi
mendatangkan fahaman kepada ajaran Tasawuf dan Tariqah.
Dengannya kami mengharapkan maghfirah dan hasanah dari Sang
Pencipta, yang menjadi tujuan atas segala tujuan.
Dan teruslah belajar kepada guru yang sanad ilmunya bersambung terus ke Rosululloh...
+ Habiblutfi.net
+ http://belajarilmutasawuf.blogspot
+ http://teosufi.multiply.com/journal/item/297
+ sammaniyah.blogspot.co.id/2012/09/pembahasan-tentang-kewajiban.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar