Jumat, 03 Juni 2016

2016#Apa?#36CakNun

2016
Dunia maya media sosial pada tanggal 27 Mei 2016 kemarin diramaikan oleh #63TahunCakNun yang menempatkan tagar itu masuk dalam trending topic linimasa Twitter, menyelinap ‘menganggu’ jajaran trending topic yang umumnya diisi isu politik nasional, selebritas
atau tagar berbayar yang digiring media massa mainstream.
Bila dicermati, banyak juga dari tagar-tagar yang berseliweran, tidak hanya pada tanggal 27 Mei, menjadi trending topic bila diberitakan media massa. Terutama media mainstream nasional yang menjadi sebuah legitimasi atas sebuah peristiwa, bahkan menjadi sebuah kebenaran akan sebuah informasi. Masyarakat akan lebih ‘menganggap’ sebuah peristiwa bila telah dimuat koran/majalah A, B dan C nasional, ditampilkan media online D, E, dan F nasional, atau ditayangkan televisi G, H, dan I nasional. Memang pandangan legitimasi itu tidak lepas dari citra diri yang ditanamkan bahwa media-media tersebut independen. Meskipun apakah media-media yang ada benar-benar bebas dari kepentingan pengendalinya perlu dicermati kembali. Sesuai perilaku masyarakat media sosial, berita-berita di media tersebut kemudian dengan mudah disebarkan secara berantai tanpa filter.
Selain sebagai legitimasi, pemberitaan di media massa menjadi tolak ukur bahkan tujuan hidup. Bila diberitakan koran atau media online, atau tayang di televisi nasional akan menjadi penguat identitas dan eksistensi. Seorang kolega, seorang dosen Ilmu Politik di Universitas Negeri ternama di Malang dan Surabaya, pernah menyampaikan kegelisahannya terkait pandangan mahasiswa akan kredibilitas seorang dosen. Bahwa dosen A yang keilmuannya biasa-biasa saja, tapi ia sering tampil sebagai nara sumber di televisi, akan lebih dihormati kredibilitasnya dibanding dosen B yang keilmuannya lebih luas dan mendalam tapi tak pernah dilirik televisi.
Alat Pencitraan
Lebih dari itu semua, media massa bahkan menjadi alat mengada-adakan citra diri seseorang atau pencitraan tidak seperti kenyataan hidupnya. Bisa dikatakan bahwa pencitraan itu adalah penipuan. Atau agak lebih halus, hanya memilih dan menonjolkan satu sisi dari kehidupannya yang baik-baik saja kemudian diberitakan berulang-ulang secara gencar sehingga masyarakat akan menilai dirinya baik sepenuhnya.
Ada kejadian menarik yang bisa menjadi pelajaran, yakni pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 antara Barack Obama versus John McCain. Popularitas Obama dengan Joe Biden sebagai pasangan wakilnya jauh mengungguli McCain yang belum memiliki pasangan. Sedangkan waktu sangat mepet dengan batas waktu yang diberikan Komisi Pemilihan Presiden untuk menyerahkan nama wakil presiden. Berdasarkan rapat tim sukses, hasil analisa menunjukkan McCain kurang mendapatkan dukungan kalangan perempuan dalam basis pemilihnya yang konservatif. Maka dengan cepat, tanpa verifikasi yang mendalam sehingga ada hal yang luput di kemudian hari, ditentukan nama Sarah Palin seorang Gubernur perempuan negara bagian Alaska.
Setelah diumumkan, Palin menjadi angin segar dalam pemilihan presiden saat itu. Palin dianggap menjadi bintang yang bisa menyaingi kebintangan Obama. Dalam perjalanannya, terkuak bahwa Palin ternyata sangat dangkal pengetahuannya mengenai politik luar negeri. Ia bahkan tidak mengerti jika kepala pemerintahan Inggris adalah Perdana Menteri bukan Ratu.
Selama masa pemilu, Palin dijauhkan dari wartawan untuk tanya jawab langsung. Tetapi dalam beberapa kali interview khusus, sangat terlihat kelemahannya itu. Popularitas pasangan Partai Republik ini anjlok drastis. Palin menjadi olok-olok seantero negeri. Melihat hal itu, tim sukses tidak tinggal diam apalagi menghadapi debat calon wakil presiden yang disiarkan langsung televisi nasional. Mereka yang memahami betapa pentingnya pengaruh televisi, menyiapkan Palin untuk hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul dari panelis tanpa perlu menguasai pengetahuan luar negeri yang luas. Dalam debat hanya satu jam tersebut, Palin dengan memukau menjawab pertanyaan, yang telah dilatih sebelumnya. Keesokan harinya, ratingnya meningkat tajam hanya karena satu jam itu. Sebuah ‘rekayasa’ yang berhasil memanipulasi dengan sekejap pendukungnya.
Software Berpikir
Kecenderungan lain yang tampak dominan, walau tagar yang ada tidak diberitakan media massa, namun muatannya tidak jauh-jauh dari isu atau tema yang dibangun industri media. Baik itu koran, media online, maupun televisi. Bisa menyangkut selebritas atau infotainment, sinetron, politik, ekonomi, atau olah raga, yang kesemua polanya bila dilihat dari jarak jauh, direnungkan, dan disadari, terlihat sebagai pengalih perhatian atas kenyataan hidup.
Melihat kecenderungan tagar-tagar itu, seperti diurai dalam tajuk Tegak Lurus Langsung sebelumnya, menunjukkan bahwa alam pikir masyarakat umumnya masih dalam kendali industri media massa. Bila ditarik ke belakang, industri ini dikendalikan pemiliknya, yaitu para kapitalis segelintir orang jumlahnya. Maka, alam pikir masyarakat sebenarnya dikendalikan oleh pemilik modal itu, yang saat ini mengendalikan para pengurus negara.
Mungkin akan ada sanggahan bahwa saat ini orang-orang bebas berpendapat di media sosial. Akan tetapi, media sosial itu hanya sebatas ‘mulut’, sedangkan software berpikirnya masih belum sepenuhnya merdeka.
Bukan Tujuan
Dalam penyebaran informasi melalui media sosial, menjadi trending topic bukanlah menjadi tujuan Maiyah. Maiyah hanya berjalan apa adanya dengan niat sekedar produksi informasi nilai-nilai Maiyah bagi jamaah Maiyah itu sendiri. Bagi keluarga sendiri.
Tagar yang digunakan juga tidak umum bahkan aneh. Seperti #KCMei, #MSJan, #GSOkt, #PBSept, #MaiyahSrby, #JSDes, dan lainnya. Tagar-tagar itu hanya dimengerti oleh jamaah Maiyah yang intens mengikuti majelis-majelis ilmu Maiyah. Namun tiap bulan atau pada saat maiyahan, tagar-tagar itu tidak sengaja menyelinap dalam daftar trending topic.
Tagar-tagar itu sebenarnya hanya berputar di lingkungan masyarakat Maiyah. Bila dilihat dari kecenderungan trending topic itu, mungkin ini menunjukkan bahwa masyarakat Maiyah sudah cukup mengerti bahwa mengikuti isu-isu media massa tidak perlu lagi menjadi hal pokok, utama, atau primer dalam mencukupi asupan informasinya. Cukup menjadi hal sekunder bahkan tersier.
Dari sisi pembahasan, tagar-tagar yang menjadi trending topic yang umumnya masih susah lepas dari industri media, berisi hujatan atau cacian politik, atau pemujaan selebritas hiburan dan olah raga. Tetapi terlihat ada upaya lain pada tagar dalam keluarga masyarakat Maiyah yang berusaha mengisinya dengan nilai-nilai ilmu dan hikmah yang mencerahkan alam pikir. Masyarakat Maiyah memiliki ekosistem sendiri dalam ranah media sosial.
Produsen Informasi
Kembali kepada hastag #63TahunCakNun, bisa dibilang ini sesuatu yang absurd tatkala menjadi trending topic. Sudah diketahui bersama bahwa Cak Nun telah sangat lama meninggalkan hiruk pikuk industri media massa mainstream nasional. Hanya sesekali beliau muncul dalam pemberitaan dan tulisan beliau sangat jarang dimuat pasca reformasi 98 hingga kini. Bahkan bagi orang-orang yang menjadikan munculnya di media massa sebagai ukuran keaktifan, akan menilai Cak Nun sudah tidak aktif lagi bahkan hilang dari ‘peredaran’.
Padahal, keputusan meninggalkan industri media adalah ijtihad dan mujahadah untuk membuktikan bahwa masih ada manusia-manusia berdaulat yang tidak bisa dikendalikan media. Kedaulatan penuh atas akal dan pikiran manusia. Cak Nun memberikan tauladan untuk menumbuhkan kembali kedaulatan pada masing-masing pribadi masyarakat Maiyah. Bukan untuk diikuti membabi buta, tapi agar tiap-tiap pribadi menemukan titik kesadaran dalam dirinya atas informasi.
Di dalam setiap maiyahan, Cak Nun menanamkan agar jamaah tidak hanya memperoleh ilmu dan pengetahuan. Tapi jauh di atas itu semua, yang lebih penting agar kita menemukan hikmah. Melihat fenomena absurd trending topic #63TahunCakNun, salah satu hikmahnya, masyarakat Maiyah memiliki potensi atau telah menjadi benih-benih sebagai produsen informasi, tidak lagi hanya sekedar menjadi konsumen.
Oleh :AHMAD JAMALUDDIN JUFRI / EAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar