Islam Rahmatan lil ’Alamin
SARATRI WILONOYUDHO •
1 Oktober 2015
Caknun.com#Esai #Khasanah
1 Oktober 2015
Caknun.com#Esai #Khasanah
Fenomena munculnya kelompok-kelompok Islam “radikal” yang selalu
membikin perpecahan, dengan cara (misalnya) mengkafirkan, mem-bid’ah-kan, men-syirik-kan, dst kelompok Islam yang lain, boleh jadi disebabkan dua hal. Pertama, sudah jamak, bahwa untuk menghancurkan satu negara, atau memundurkan umat Islam, cukup “memanfaatkan” umat itu sendiri agar merusak dari dalam tubuhnya sendiri. Bisa juga ia sebenarnya tidak paham Islam, sehingga yang dilakukan hanyalah sekadar “ghirah” penghancuran, bisa juga untuk kepentingan (misalnya) ekonomi-politik;
Kedua, bisa juga yang mereka lakukan akibat rendahnya intelektualitas, di satu sisi, namun semangat untuk “memajukan” Islam pada sisi lain. Sehingga maksudnya “baik”, namun hasilnya penghancuran. Mereka adalah kelompok-kelompok yang sesungguhnya “mencintai” Islam, namun karena belum “tercerahkan”, maka yang ia hasilkan adalah “ghirah” yang membabibuta, sehingga yang muncul hanyalah gerakan mengkafirkan yang lain, dan mengklaim hanya tafsirnya saja yang paling benar.
Mereka ini bisa jadi kelompok yang tidak mampu (tidak mau berfikir kreatif?) untuk menemukan metode “jihadnya” dalam lapangan sosial, sehingga yang ia sangka jihad hanyalah mengotak-atik fiqh dan ibadah mahdoh saja. Akibatnya, mereka hanya ber-Islam ketika berada di masjid, pas sholat, atau pada kelompok pengajiannya, namun susah ber-Islam dalam lapangan sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, bahkan berkesenian pun ia tidak mampu menemukan Islam.
Dia lupa bahwa masalah agama, tafsir, adalah masalah iman, yang tidak dapat dirumuskan secara matematis, atau diuji secara kuantitatif-kualitatif, mana yang paling benar tafsirnya. Padahal Islam itu sesungguhnya “sederhana”, karena yang harus terlihat adalah output sosialnya. Orang tidak bisa mengklaim paling saleh, paling Islam, paling benar, paling baik moralnya hanya berdasarkan pandangan sepihak, misalnya perilaku ibadah mahdoh-nya.
Mereka yang meng-klaim bahwa tafsirnya lah yang paling benar, justru dia sendiri belum “islam”. Sederhana saja, karena pada prinsipnya, Islam adalah “konsep” pemasrahan diri kepada Allah, agar kita selamat (salam) di dunia dan akherat. Untuk sampai tataran ini, Allah sudah memberi bekal kepada umatNya tiga hal, yakni akal, hati, dan syahwat. Akal atau intelektual adalah kata kunci untuk terus mencari Islam, karena ini sebuah kata kerja, dan syahwat sesungguhnya adalah “ghirah” atau semangat (bisa positif, bisa negatif, tergantung kualitas akal spiritual kita). Makanya Allah memerintahkan kita untuk meng-empan papan-kan, mem-proporsional-kan ketiga hal tersebut menjadi “adonan” yang lezat.
Orang yang sudah berhenti pada tataran kebenaran menurut tafsirnya sendiri, berarti mandeg akalnya, mandeg pencariaannya, sehingga ia akan tertutupi (Kafir?). Kalau manusia sudah mengklaimn sampai kepada “kepastian”, maka ia tak ubahnya seperti hewan dan tumbuhan, yang notabene berada dalam hukum sunatullah. Sementara manusia diberi akal oleh Allah karena ia dimandati menjadi khalifatullah.
Khalifatullah adalah tataran tertinggi, setelah ia mampu melewati tataran lain sebagai insan (manusia), abdullah (abdi Allah). Kalau manusia baru berada dalam tataran manusia (insan), maka yang muncul dalam dirinya adalah masih ego pribadi, dan belum menganggap yang lainnya juga bagian dari alam semesta yang harus bersujud kepada Tuhan. Selanjutnya jika ia sudah sampai kepada pemahaman bahwa dirinya dan yang lainnya adalah bagian dari alam semesta yang harus sujud dan mengabdi kepada Allah, maka ia sudah sampai pada tataran Abdullah. Tataran ini belum sampai pada kesadaran memikul tugas memanajemen bumi dan isinya.
Barulah jika ia sudah mampu menggunakan akal untuk
“memayu hayuning bawana”,
Barulah jika ia sudah mampu menggunakan akal untuk
“memayu hayuning bawana”,
atau memanajemen bumi, maka ia sudah sampai pada tataran khalifatullah. Karenanya, mereka yang mengklaim hanya diri dan kelompoknya yang paling benar, dan mengkafirkan yang lain, jangankan sampai pada tataran khalifatullah, sampai tataran sebagai manusia (insan) saja ia belum lulus.
Padahal Al Qur’an merupakan petunjuk yang jelas untuk menuju tataran khalifatullah ini. Syaratnya, orang itu harus “tercerahkan” terlebih dahulu. Orang yang bisa “menyentuh” Al Qur’an adalah orang yang sudah bersih hati dan jiwanya, bukan saja secara fisik dengan berwudlu, namun juga “wudlu” besar yang meliputi pembersihan hati, nurani, dan jiwanya. Benar kata Allah ‘la yamassuhu illal muthohharun.
Orang yang sampai pada tataran menuju Allah, maka ukurannya jelas, yakni ia pasti akan mencintai, setidaknya menghormati ciptaan Allah. Kalau kita bilang cinta pada isteri kita, sementara kita berdurhaka kepada orang tua isteri kita (mertua) dan saudara-saudaranya, pasti itu cinta yang palsu. Demikian juga kalau kita bilang mencintai Allah namun menyakiti ciptaanNya, maka sudah pasti itu juga cinta dusta, dan Allah akan marah: “Mengapa kau bilang cinta kepadaKu, namun kau rusak ciptaanKu yang lain?”
Mereka juga belum sampai tataran khalifatullah, karena untuk sekadar menggunakan akalnya saja tidak mampu, apalagi hati nuraninya. Dan yang terakhir, ia jelas tidak “Islam”, bagaimana mungkin Islam kok tidak rahmatan lil ‘alamin? Atau menyakiti yang lain?
Kemudian oleh Muhamad Mustofa Bisri dengan definisinya sebagai warga NU. Mungkin sedikit berbeda.
Ahmad Mustofa Bisri, mengatakan bahwa yang dimaksud Rasulullah Saw tentang:
Sawadul A’dham
itu adalah Indonesia. Hal ini disampaikan kyai yang akrab disapa Gus Mus saat menerima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) di kediamannya di komplek Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Sabtu malam (21/3).
“Pada suatu pertemuan internasional, saya katakan dan nyatakan, bahwa yang dimaksud kanjeng Nabi, Rasulullah Muhammad Saw, tentang Sawadul ‘Adham, itu ya Indonesia, khususnya, tepatnya, Islam ala NU,”
tegasnya.
tegasnya.
Lebih jauh Gus Mus menceritakan bahwa paham keislaman mayoritas di dunia sebenarnya serupa dengan paham keislaman Nusantara.
“Mari kita lihat, dari sisi kuantitas, kalau menurut LSI, orang-orang NU itu berjumlah 60 juta. Umpama itu benar, berapa kali lipat dengan jumlah penduduk Saudi Arabia, berapa kali lipat dengan jumlah muslim Malaysia?
Jadi secara kuantitas, tidak terbantahkan. Dari segi kualitas, saya sudah ketemu dengan banyak ulama dan syekh dari banyak negara, ada
Syekh al-Azhar,
Grand Mufti Syiria,
Grand Mufti Qatar, bahkan ketemu dengan ulama asli Swedia,
Suleman Fan’ir.
Ketika diskusi, pemahaman keagamaannya, persis dengan paham keagamaan Islam Nusaantara ala NU,” tambahnya.
Islam Rahmatan lil ‘Alamin Pernyataan itu pernah dipertanyakan balik oleh pemikir Indonesianis dari Eropa, Martin Van Bruinessen.
Menurut Martin, jika pernyataan itu benar, kenapa pemahaman Islam yang mayoritas itu, yang moderat itu, tidak sampai ke Barat?
Menurut Martin, jika pernyataan itu benar, kenapa pemahaman Islam yang mayoritas itu, yang moderat itu, tidak sampai ke Barat?
Kenapa Barat hanya mendengar Islam dari paham keislaman minoritas di Saudi dan Timur Tengah?
Kenapa Barat tidak tahu kalau di Indonesia ada Islam rahmatan lil alamin?
Sejumlah pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh Martin.
“Eh, dijawab sendiri sama dia, bahwa sejak Pak Harto berkuasa, Islam menutup diri. Sebelumnya, semua orang tahu Islam Indonesia, Amerika, India, Afrika, bahkan mereka ketika melihat Bung Karno langsung mengatakan, Ahmad Soekarno Indonesia,”
tutur Gus Mus, mengenang.
tutur Gus Mus, mengenang.
Menurut Gus Mus, ulama terdahulu kita, dihormati di mana-mana. Di Saudi misalnya, Kiai Turmudzi, Syaikh Yasin, Kiai Nawawi dan lain-lain, diakui.
“Kini, kita diremehkan. Karena lebih terkenal sebagai TKI,”
Gus Mus.(sambil tertawa)
Gus Mus.(sambil tertawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar