Sabtu, 18 Juni 2016

Moderat ISLAM (Habib umar bin hafidz)

MODERAT SEBAGAI SALAH SATU INTI DARI AGAMA
MERUPAKAN suatu yang harus tertanam di dalam hati orang-orang Islam bahwa lurus dan moderat merupakan salah satu inti dari agama dan syariat mereka yang suci ini. Juga, meru­pakan ajakan dari Allah kepada mereka melalui Sang Pemimpin makhluk.

Maksudnya, keteguhan mereka terhadap agama, kedalaman mereka dalam memahami agama serta upaya mereka untuk mengamalkannya merupakan gambaran dari hakikat kemoderatan dan kelurusan. Sebab, asas dan dasar dari semua ini datang Sisi Tuhan Yang Mahabijak dan Mahatahu جل جلاله
Pemahaman yang buruk dan ekstrem betul-betul berada di luar jalan yang lurus dan mod­erat, sama halnya dengan sikap lalai dan tidak peduli terhadap hukum-hukum Tuhan Yang Mahabenar سبحانه وتعالى Sikap lalai dan ceroboh, juga sikap ekstrem dan keterlaluan sama sekali ti­dak mencerminkan hakikat dari agama. Sama sekali tidak mencerminkan hakikat dari jalan yang moderat dan lurus.
Yang disebut moderat dan lurus adalah keteguhan yang tinggi dalam mengikuti petun­juk Nabi memegang norma dan aturan-aturan syariat dalam memandang berbagai hal serta dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, bahkan juga dalam urusan ibadah yang sesuai dengan aturan-aturannya. Moderat inilah yang terlepas dari dua kutub yang sama-sama tercela, yaitu sikap ekstrem dan keterlaluan, atau sikap lalai dan ceroboh.
Dengan demikian, ajakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم agar kita bersama dengan barisan orang-orang terbaik dan golongan terbesar dari umat ini— karena macan hanya menerkam kambing yang lepas dari gerombolannya—serta semangat kita untuk mengikuti petunjuk beliau dalam membangun hubungan dengan sesama manusia. Semua itu mencerminkan hakikat dari sikap moderat.Bila hakikat kemoderatan ini hilang, maka hilang pulalah pemahaman yang benar terhadap hakikat-hakikat agama.
Hal itu terjadi karena dua faktor:
Pertama, karena sedikitnya ulama yang melaksanakan peran ini, dan karena mereka tidak memiliki jangkauan yang luas terhadap berba­gai sisi kehidupan.
Kedua, karena adanya gagasan-gagasan kuat yang melemparkan berbagai konsepsi keagamaan yang bertentangan dengan hakikat-nya.Dengan konsepsi salah ini mereka melakukan kiprahnya dengan berbagai macam motivasi.Ada pula yang berangkat dari niat yang baik.
Dengan konsepsi-konsepsi ini mereka memegang ajaran dengan pemahaman yang salah dan sangat jauh dari pemahaman yang benar. Maka, muncullah berbagai macam sikap yang salah, seperti cara pandang negatif, buruk sangka dan perlakuan buruk terhadap orang lain yang jelas-jelas keluar dari batas-batas kemoderatan dalam membangun hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia. Semoga Allah melindungi kita.
Kita memohon kepada Allah agar berkenan memberikan pertolongan untuk menghilangkan dua faktor di atas sekaligus. Hal itu bisa diwujudkan dengan adanya perhatian yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang diwariskan melalui jalan yang murni dan bersih. Juga, perhatian yang tinggi untuk menjauhkan sumber-sumber yang menyalakan api pema­haman yang menyimpang dari hakikat Islam. Menjauhkannya agar jangan sampai dilempar-kan kepada generasi muda dan putra-putri kita.
MODERAT MEMILIKI MAKNA YANG LUAS DALAM SYARIAT
NAMUN demikian, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “mod­erat” yang hendak kita bicarakan ini. Tidak seperti yang dipahami dengan tergesa-gesa oleh pikiran banyak orang: bahwa moderat itu hanyalah sikap lunak, atau sikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain.
Pengertian moderat lebih luas dan lebih besar dari sekadar hal itu. Mustahil bagi Allah, suatu ketika agama-Nya menjadi sasaran pikiran orang-orang yang hendak memonopolinya atau mengarahkannya sesuai keinginan dan tujuan mereka.
Agama mendatangkan keluhuran bagi pikiran, pandangan, gambaran, perilaku, dan pemahaman manusia terhadap berbagai hal. Agama membawa manusia ke puncak kebaikan, keindahan, kesucian, kebeningan dan kemuliaan yang menjadi keistimewaan manusia apabila ia memahami dengan benar hikmah keberadaanya di alam ini serta keagungan Sang Pencipta yang telah mewujudkannya dari ketiadaan. Juga, apabila ia melaksanakan norma-norma hubungannya dengan Tuhan yang telah menciptakannya agar ia bisa menjalani kehidupan ini di bawah cahaya dan pengetahuan ilahi dari Sisi Tuhan yang mengetahui dan menghitung segala sesuatu satu persatu. Seluruh makhluk-Nya adalah seperti difirmankan oleh Allah:
ولا يحيطو ن بشيئ من علمه إلا بما شاء
Artinya: … dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. (QS al-Baqarah [2]:255)
Moderatisme yang hendak kita bicarakan adalah sebuah pemahaman yang benar terha­dap hakikat syariat dalam berbagai posisinya yang luhur.Sadar atau tidak, manusia sangat membutuhkan hal ini. Berbagai fenomena ke­hidupan di sekeliling mereka memberikan pesan bahwa mereka membutuhkan syariat; bahwa syariat Islam begitu luhur dan mulia, melebihi apa yang mereka pikirkan dan mereka bayangkan.
Moderatisme yang hendak kita bicarakan adalah berbagai hakikat dari petunjuk-petunjuk ilahi yang telah diterima oleh Rasu­lullah dari Tuhan Yang Mahabenar.Kemudian beliau diberi amanat untuk menyampaikannya kepada segenap manusia.
وما أرسلنك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا
Artinya: Dan Kami tidak mengutus en-kau, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS as-Saba’ [34]: 28)
Yang menfirmankan kalimat ini adalah Sang Pencipta dari manusia-manusia itu den­gan segala tabiat dan akal pikiran mereka yang berbeda, di manapun mereka tinggal, di negara apapun, di benua apapun di dunia ini.Yang menciptakan mereka sampai kiamat adalah Allah. Allahlah yang berfirman:
وما أرسلنك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا
Maka, tidak ada yang terlepas dari risalah beliau, baik itu kemaslahatan di barat atau di timur; baik Arab atau non Arab; Eropa, Austra­lia, Amerika atau Afrika.Untuk mereka, Allah telah mengutus Sang Pemimpin umat manusia dengan membawa jalan syariat ini. Maka, sudah merupakan keniscayaan, bahwa jalan syariat ini memuat semua apa yang dibu­tuhkan oleh mereka tanpa kecuali, dengan segala pola pikir mereka yang berbeda. Jalan syariat ini membawa mereka semua ke tempat yang luhur, membuat mereka bersih dan suci. Jalan syariat ini menyelamatkan mereka dari konflik-konflik rendahan dalam merebut kenikmatan-kenikmatan duniawi yang hanya sementara, menuju derajat yang layak dengan kemuliaan manusia.Hal ini harus senantiasa tertanam kuat di hati nurani kita.
Jadi, moderatisme ini merupakan sebuah pemahaman yang luas terhadap syariat Allah yang luas dan datang dari Allah Yang Maha Luas, dalam hal-hal yang dikehendaki Allah agar kita menegakkannya. Baik itu berupa norma-norma hubungan sesama manusia, atau bahkan juga cara pandang dan gambaran mereka terhadap berbagai hal. Hal itu agar landasan pola pandang kita memiliki kendali yang kuat dari akal pikiran dan syariat.Sebab, akal pikiran merupakan sarana untuk memahami, mengaplikasikan dan mengejawantahkan syariat, cahaya terang yang datang dari Sisi Allah Taala ini.
MODERAT DALAM MENGENDALIKAN EMOSI DAN NAFSU
MANUSIA diciptakan dengan cengkeraman nafsu dan emosi yang melekat di dalam wataknya. Bila ia mengikuti dorongan nafsu dan emosinya, maka ia melakukan berbagai macam kerakusan, kebuasan, melanggar hak orang lain, melakukan hal-hal rendah dan hina di muka bumi ini bila mereka dikendalikan penuh oleh emosi dan nafsunya.
Namun, bila syariat dan akal pikiran yang mengendalikannya, maka ia akan melatih emosinya agar muncul menjadi sebuah keber­anian, kepedulian dan semangat yang terpuji, cara berpikir yang baik, perencanaan yang matang dan etika hubungan baik dalam hidup ini. Dan, ia juga akan melatih dan membeningkan nafsunya agar muncul menjadi keinginan-keinginan yang luhur, kemauan yang kuat un­tuk mencapai derajat yang tinggi.
Bila emosi dan nafsu dididik dengan kendali akal pikiran dan syariat maka manusia akan berdiri di jalan moderat yang terpuji. Dengan demikian, emosi akan menjadi bekal keberanian yang terpuji, bekal kecemburuan yang terpuji, bekal untuk menjaga nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang sejati; dan nafsu menjadi sarana terwujudnya keinginan yang kuat menuju derajat yang tinggi dan ternpat yang luhur baginya, serta berdiri di atas nilai-nilai kesucian, kebersihan dan kebeningan.
SAUDARA-SAUDARA sekalian, dengan demikian marilah kita bersiap-siap untuk menggapai segala macam kebahagiaan, hingga mencapai puncaknya yang paling tinggi.Hingga, kita bisa menjadi saksi atas umat-umat lain yang tidak berupaya mencapainya.
وكذ لك جعلنكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس
Artinya: Dan demikian (pula) Aku telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil (berada di tengah) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia... (QS al-Baqarah [2]: 132)
Kalian memiliki derajat sebagai pengawas umat-umat lain di masa lampau sebelum kalian.Kalian menjadi saksi bahwa para nabi mereka telah menyampaikan ajaran Allah. Ada Hadits Rasulullah Muhammad صلىالله عليه وسلم di dalam Shahih al-Bukhari bahwa beliau bersabda, “Allah سنحانه وتعالى bertanya kepada kaum Nuh pada hari kiamat: Apakah Nuh telah menyampaikan (ajaran-Ku) kepada kalian?”.Maka, umat Nuh menjawab, “Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami.”
Padahal Nabi Nuh berada di tengah-tengah mereka selama 950 tahun! Tapi, inilah tabiat manusia bila ia tidak dibersihkan, tidak mengetahui keadilan (kemoderatan), dan tidak bersih dari berbagai kotoran nafsu: syahwat, emosi, dan cengkeraman kepentingan-kepentingan sementara yang memperbudaknya. Maka, bisa saja ia mengingkari adanya matahari di siang bolong.
Nabi Nuh menyampaikan ajaran selama 950 tahun, tapi umatnya menyatakan, “Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami.” Sementara, sikap Nabi Nuh di tengah-tengah mereka adalah (seperti diceritakan al-Qur’an):
وإنى كلما دعوتهم لتغفر لهم جعلوا أصبعهم فى ءاذانهم واستغشوا ثيابهم وأصروا واستكبارا {7} ثم إنى دعوتهم جهارا {8} ثم إنى أعلنت لهم وأسررت لهم إسرارا {9} فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفارا {10
Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian se­sungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. (QS Nuh [71]: 7-10).
Dan, seterus-nya…
Meski sudah demikian, mereka menyatakan, “Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami.” Betapa bahayanya keadaan manusia jika jiwanya tidak bersih, ti­dak diterangi oleh nur akhlak ilahi dan pen­didikan rabbani, serta tidak terlepas dari kungkungan nafsu untuk bisa menuju tingginya keridaan Allah Dalam kondisi ini, manusia berada dalam kerendahan yang luar biasa.
Rasulullah melanjutkan sabdanya:
Lalu Allah bertanya, “Hai Nuh, apakah engkau tidak menyampaikan (ajaran-Ku) kepada mereka?”
Nuh menjawab, “Tuhan, aku telah men­yampaikan kepada mereka tapi mereka tidak mempercayaiku.”
Allah bertanya, “Siapa yang menjadi saksi (atas pengakuanmu ini)?
Nuh menjawab, “UmatMuhammad.”
Maka, didatangkan orang-orang terbaik dari kalangan kita umat Muhammad.”Apakah kalian bersaksi bahwa Nuh ini telah menyampaikan (ajaran-Ku) kepada kaum-nya?”
Mereka menjawab, “Iya, Tuhan kami.Kami bersaksi bahwa Nuh telah menyampai­kan kepada mereka, memperingati mereka, berjuang pada waktu malam dan siang, se­cara sembunyi dan terang-terangan, tapi mereka semakin lari menjauh.”
Maka, kaum Nuh angkat bicara, “Tuhan, mereka hidup setelah kami, bagaimana mungkin mereka mengetahui hal itu?”
Maka Allah bertanya, “Bagaimana bisa kalian mengetahui hal itu wahai umat Mu­hammad?”
Mereka menjawab, “Engkau telah mengu­tus seorang Rasul kepada kami, dia adalah hamba-Mu Muhammad, dengan membawa sebuah Kitab. Dalam Kitab itu Engkau men­ceritakan kepada kami bahwa Nuh telah menyampaikan (ajaran-Mu) kepada mereka seperti ini. Kami menjadi saksi atas dasar firman-Mu.”
Maka, Allah bertanya, “Siapa yang men­jadi saksi bagi kalian?”
Mereka menjawab, “Nabi kami, Muham­mad.”(HR al-Bukhari dalam Kitdbut-Tafsir).
Lalu, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم didatangkan.Be­liau menjadi saksi tertinggi atas seluruh mak­hluk di alam dunia ini.Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan keselamatan kepada beliau serta keluarga dan Sahabat be­liau.
لتكونوا شهداء الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
Artinya: …agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Mu­hammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian… (QS al-Baqarah [2]: 132).
فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد وجئنا بك على هؤلاء شهيدا{41
Artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Aku mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Aku mendatangkan engkau (Mu­hammad) sebagai saksi atas mereka itu (se­bagai umatmu). (QS al-Nisa [4]: 41)
Sampai di ayat ini ketika Ibnu Mas’ud membacakan al-Qur’an kepada Nabi kalian.Maka, Nabi memberi isyarat, “Cukup!”
Ibnu Mas’ud bercerita: Lalu, aku buka mataku, ternyata aku lihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم menangis, kedua mata beliau bercucuran air mata. Beliau membayangkan posisi ini, untuk memuliakan orang yang berhak menerima kemuliaan di hari kiamat, yaitu kemuliaan untuk menjadi saksi atas umat manusia.
Berarti, dengan kemoderatan kita ini, kita bisa mencapai kemuliaan yang agung, sehingga kita bisa menjadi saksi atas segenap umat manusia. Maka, apakah hal itu hanya pema­haman sepotong yang begitu terbatas: kita hanya membangun hubungan dengan golon­gan-golongan tertentu dari umat manusia ini!? Tidak, tapi jauh lebih besar dari itu sebagaimana kalian telah mendengar keagun­gan syariat yang datang dari Tuhan Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu, juga bagai­mana hal-hal yang menimpa manusia pada saat mereka tidak mengetahui hakikat dari syariat tersebut.
Sumber : Agama Moderat
Terj. Alwasathiyah fil-Islam
Karya Al Habib Umar bin Hafidz
Ref:ahlulbaitrasulullah.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar