Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen
yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat
sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut
merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan
mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero
accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan
banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk
investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada
masa yang akan datang.
Bagaimana K3
dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma
keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja
yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan
kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan
kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian
terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan
peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup
dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan
menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat
kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat
kerja, misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban
udara, dan lain-lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat
pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan,
kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit,
kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen
perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam
kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam
lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain.
Hal-hal tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa
kecelakaan kerja.
Eksistensi K3
sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama
Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat.
Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan
mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya
berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan
barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang
dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan
mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam
lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi
pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi
perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak
ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta
masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam
perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai
kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab
perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law defence
(CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian),
fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi
employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,
buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan
kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada
sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen
Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda
yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No.
406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan
beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan
kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing
sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan
yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene
Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen
Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang
pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum
Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling
1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids
Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan
sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3
belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan
dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih
dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional.
Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh
pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan
semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri
nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah
melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan
masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang
Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja,
UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan
sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus
melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas
mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai
dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang
Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di
atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam
sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri
manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat
ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global
seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan
buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga
mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional
hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan
terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil
jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan
pertama sebagai syarat investasi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran
PENDAHULUAN
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-bangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
jaringan elektrik dan komunikasi.
kualitas udara.
kualitas pencahayaan.
Kebisingan.
Display unit (tata ruang dan alat).
Hygiene dan sanitasi.
Psikososial.
Pemeliharaan.
Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti asbes dll.
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
Kontrol terhadap polusi
Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre Diseases ".
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu, bau dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan, dll.
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala diukur dengan Luxs Meter)
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang digunakan.
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
Internal
Over voltage
Hubungan pendek
Induksi
Arus berlebih
Korosif kabel
Kebocoran instalasi
Campuran gas eksplosif
Eksternal
Faktor mekanik.
Faktor fisik dan kimia.
Angin dan pencahayaan (cuaca)
Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan pendek.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
Tempat untuk istirahat dan shalat.
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
Ruang tempat penampungan arsip sementara.
Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
Toilet/Kamar mandi
Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa gambar dll.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek, sarung tangan dll).
Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
Lantai tetap terpelihara.
Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
Petugas keamanan ditiap lantai.
Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
Budaya nrimo.
Sistem pelaporan macet.
Ketakutan melaporkan.
Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala minimal sebulan sekali.
Penegakan disiplin ditempat kerja.
Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan kemungkinan terjadinya.
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/ bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan :
Memanfaatkan kesepuluh jari.
Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
Lakukan peregangan.
Sudut lampu 45º.
Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
Kursi ergonomis (adjusted chair).
jarak meja dengan paha 20 cm
Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan komputer disetiap unit kerja.
Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).
PENUTUP
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting yakni indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan komputer.
Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran
HSE
HSE
HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa
perusahaan juga disebut EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan
Kerja dan Lindung Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health,
Environment). Semua itu adalah suatu Departemen atau bagian dari
Struktur Organisasi Perusahaan yang mempunyai fungsi pokok terhadap
implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta
Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya
Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar Hukum Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.
Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar Hukum Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.
sumber : http://arbelprasetyo.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar