Jumat, 23 Desember 2016

Islam gembelengan

             ISLAM GEMBELENGAN

OLEH Mantan Presiden RI ( Abdulrahman wahid & Prof. Dr Mustofa Bisri )

Sufi & Toleransi di Indonesia

Islam mengajarkan toleransi dan memberi penghargaan yang tinggi kepada umat agama lain. Ini, antara lain, didasarkan pada Qs. al- Kafirun: 6
:lakum dinukum waliya din/bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.”Ini kata Tuhan, bukan siapa-siapa, ” tegasnya.
keberagaman agama-agama itu telah ada sejak dahulu kala, yang karenanya tidak seharusnya diseragamkan. Yang terpenting untuk menyikapinya, imbuh adalah seperti yang diajarkan Empu Tantular 8 abad silam pada masa awal Kerajaan Majapahit, yaitu

" bhinneka tunggal ika/berbeda- beda tetap   satu jua"
         Lupa???????
“Ini yang harus kita pegangi. Jangan mencari perbedaannya, tapi carilah persamaannya, ”

apa yang dilakukan kelompok Islam keras dengan menuntut penyeragaman, itu tidak bisa dibenarkan.

Mengaitkan ketidakpahaman pada ajaran agama ini dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1986, yang mengharamkan kaum muslim mengucapkan selamat natal pada orang Kristen.
Tidak mengerti apa landasan MUI mengeluarkan keputusan demikian.
“MUI bilang, orang Kristen percaya Nabi Isa itu Tuhan. Itu kan urusan mereka. Masak kita ngurusin itu. Simpel to?,”

“al-Qur’an sendiri kan bilang salamun ‘alaihi yauma wulid "
(mudah-mudahan kedamaian atas Jesus pada hari kelahirannya) .
Wong al-Qur’annya saja membolehkan, kok manusianya melarang,”

ISLAM KO' PETHENTENGAN...
PROF.DR MUSTOFA BISRI
Islam yang ngotot atau Islam pethenthengan, itu muncul dari kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, orang-orang desalah yang masih setia merawat Islam yang toleran, tengah-tengah dan yang tidak ngotot. “Ini yang bikin saya bangga dengan desa. Ini menurut pengamatan saya yang agak lama. Mungkin saya salah,” katanya tawadhu’.
Ia juga menyatakan, buku-buku karya Abu al-A’la Maududi, Sayyid Qutub, Hasan al-Banna dan sebagainya, kebanyakan diterjemahkan orang kota. “Saya ndak melihat dari kalangan ndeso atau pesantren yang menerjemahkan buku-buku ini,” ujarnya.
Dan memang, diakui kini semangat keberagamaan yang berlebihan justru muncul dari kota. Semisal Kota Jakarta, Bandung, Solo dan sebagainya. Karena demikian menggebu- gebunya dalam beragama, katanya, akhirnya timbul Islam yang ngotot atau pethenthengan itu.

“Kalau nggak begini, nggak sesuai mereka, pokoknya jahannam,” katanya.

Menyayangkan semangat orang kota ini, karena acapkali kengototan itu tak dibarengi dengan ketekunan belajar agama. Akhirnya, imbuhnya, terjadi ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dengan pemahamannya terhadap ajaran agama.
“Repotnya, lalu mereka merasa seolah-olah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk mengatur orang di dunia ini,”

Juga perilaku anarkis kelompok Islam tertentu atas kelompok lain yang berbeda, dengan alasan supaya mereka dicintai Allah SWT. Mereka ini, kata Gus Mus, sesungguhnya belum mengenal Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kasih dan Sayang atas hamba-hamba- Nya.
“Orang yang tidak kenal Gusti Allah tapi ingin menyenangkan- Nya, salah-salah malah mendapat marah-Nya. Jadi tidak logis ada orang mau menyenangkan Allah SWT, tapi tidak mengenal-Nya, ”

Inilah sejatinya, kelompok Islam yang ngaji agamanya tidak tutug alias tidak tuntas. Mereka baru belajar bab al-ghadhab (pasal marah), lantas berhenti mengaji. Dan mereka mengira ajaran Islam hanya sependek itu. Efeknya, ke mana-mana bawaan mereka marah melulu. Padahal, masih ada bab selanjutnya tentang tawadhu’, sabar, dan seterusnya. Mereka inilah yang menjadi masalah, karena siapapun yang berbeda pasti akan disalahkan dan disesatkan.

“Dan sikap pethenthengan ini yang menjadi awal tidak adanya toleransi. Karena pethenthengan juga, kadang orang yang beragama melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya secara tidak sadar

Tapi kalau dasarnya cinta, seperti kaum sufi, itu nggak ada pethenthengan, ”

Hendaknya kaum muslim belajar terus tanpa henti. Dan berfikirlah segila mungkin, toh ayat al-Qur’an yang menyuruh berfikir itu sama banyaknya dengan ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berzikir. “Jadi, jangan pasang plang dulu ‘saya wakil Pengeran’. Tapi pelajari dulu yang dalam. Kalau tidak, alih-alih dicintai Allah SWT, tapi malah dibenci-Nya,

Penulis buku Membuka Pintu Langit . Tentang sesat dan lain lain, logikanya begini:
jika ada orang yang hendak pergi ke Jakarta lalu berhenti di Rembang Jawa Tengah. Ia lantas berjalan terus ke arah Surabaya.
Ditanya  “Mau ke mana?”
“Mau ke Jakarta!” jawab orang itu.
“Saya lalu bilang, mau ke Jakarta kok ke timur?  Berarti kamu ini salah alias sesat. Ya, saya tempeleng saja.

Apa begini caranya? Cara ini kan nggak bener dan lucu......

Ini terjadi, kata Gus Mus, tak lain karena orang belajar ajaran agamanya tidak tutug atau tuntas.
“Baru sarjana muda sudah selesai, lalu merasa sudah S3, dan seterusnya” sindirnya.[nhm]
Allahu’alam

Senin, 05 Desember 2016

Makna "SANTRI" (Oleh habib lutfi bin yahya)

Pada penutupan pengajian Ramadhan tahun ini (01/07/2016),
dilakukan pembacaan khataman al-Quran bersama dan pembacaan Maulid Simthud Durar. Maulana Habib Luthfi bin Yahya yang baru tiba dari Jakarta, kemudian menghadiri penutupan pengajian. Beliau menanyakan materi yang ditanyakan oleh peserta dari diskusi-diskusi sebelumnya.

Dalam penjelasannya, Maulana Habib Luthfi menekankan pentingnya membaca kitab-kitab sejarah dan mempeluas bacaan, bukan hanya kitab fiqh, tauhid, tasawuf tetapi juga ilmu antropologi bahkan kitab-kitab kedokteran sekalipun. "Santri bukan hanya memahami ilmu agama, itu pokok, asas, tetapi santri juga bertanggungjawab untuk memajukan masyarakat dengan mengembangkan perekonomian, pertanian juga kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Nabi Saw."

"Bab al-miyah, air dalam kitab fiqh harusnya jangan hanya berputar soal ada tujuh macam air, tetapi harusnya ditanyakan apa manfaat dan perbedaan kandungan air itu. Sehingga hasilnya bermanfaat untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan memanfaatkan perbedaan kandungan air untuk meningkatkan hasil pertanian," ujar Habib Luthfi kemudian.

"Dengan demikian, pesantren juga harus punya laboratium. Jangan semua santri berpikir membangun pondok pesantren yang besar, tetapi juga harus ada santri-santri yang mempunyai gagasan membangun mall yang besar, rumah sakit dan perguruan tinggi yang berkualitas. Namun demikian kita tetap harus berpegang pada ajaran Rasulullah Saw. dan salafuna ash-shaleh. Baju boleh mengikuti sunnah Nabi Saw., tapi berpikir harus maju. Karena kemajuan itu bukan pada masalah pakaian tapi soal pola pikir," tandasnya.

Maulana Habib Luthfi juga mengingatkan agar menjaga kerukunan antar umat beragama dengan menghormati pemeluk agama lain, selama semuanya sesuai dengan tata aturan yang dicanangkan negara. Beliau juga mencontohkan bagaimana Sayyidina Umar setelah perang Qadisiyah masuk ke gereja dan shalat di halaman gereja setelah diijinkan oleh pendeta untuk shalat di dalam gereja. Kita tidak perlu seperti itu, namun pelajarannya adalah bahwa toleransi dan saling menghormati adalah niscaya untuk terjaganya keutuhan bangsa ini.

Hal lain yang menjadi perhatian Maulana Habib Luthfi bin Yahya, hendaknya santri menghormati semua ulama dengan segala kekhasan, pemikiran dan keteladanannya masing-masing. Kata beliau, "Ulama itu pewaris Nabi, bukan pewaris kalian. Koq malah mau ngatur ulama. Santri harus menjunjung semua ulama bukan malah mengatur dan menilai beliau semua."

Demikian diantara penjelasan Maulana Habib Luthfi bin Yahya pada pertemuan terakhir pengajian bulan Ramadhan (Pasaran) tahun ini, 1347 H. Tahun depan akan dilanjutkan kitab Tafsir al-Jalalain dari surat an-Nisa dan kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari jilid 2. Sebagian santri pulang ke kampung halamannya masing-masing pada esok hari, dan sebagiannya lagi akan mengikuti pembagian beras zakat dan sedekah sebanyak 70 ton dan pulangnya setelah Hari Raya Idul Fithri. Sampai bertemu di Ramadhan mendatang, fi 'aunillah wa amanillah bijahi Rasulillah Saw. Amin.

(A. Tsauri/Ibj).