Rabu, 07 Juni 2017

Sikap Terbaik Islam Indonesia

Prof. Nasaruddin Umar,

Para hadirin sesuai dengan kondisi yang dihadapi bangsa sekarang.
Nasaruddin mengaku pernah mempelajari hadits yang dirasanya cocok dengan dinamika bangsa sekarang dan harus mencari-cari riwayat sahih hadits tersebut agar dia merasa yakin bisa disampaikan ke para pemimpin dan rakyat Indonesia, dan akhirnya dia temukan juga.
"Kita hanya menghukum apa yang tampak, jangan menghukum akidahnya orang. Mau aliran sesat atau aliran apapun juga, asalkan formalnya sudah bersyahadat, jangan dikorek-korek lagi," kata Nasaruddin menjelaskan hadits tersebut.
"Hanya Allah yang tahu apa yang tersembunyi dalam hati orang. Jadi kalau ada orang yang menghakimi akidahnya orang lain 'kamu itu aliran sesat' misalnya, saya ingin meningatkan kita semua jangan terlalu gampang mengaliransesatkan orang."
"Dan sebaliknya juga jangan terlalu gampang mengkafir-kafirkan orang, karena hadits Nabi mengatakan kalau kita mengkafirkan orang yang tidak kafir -- itu mental (memantul), kita yang jadi kafir. Tidak ada keuntungan untuk memvonis seseorang itu kafir atau sesat," ujar pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan itu.
Masyarakat Plural Kehendak Allah
Presiden dan hadirin yang lain tampak makin tekun menyimak tausiah kyai tersebut, ketika dia menyebutkan bahwa masyarakat heterogen yang terdiri atas berbagai suku atau agama seperti Indonesia adalah suatu keniscayaan yang dikehendaki Allah.
"Dalam masyarakat plural seperti kita, saya ingin mengingatkan sebuah ayat bahwa nggak mungkin kita akan bisa menyatukan umat dalam pengertian persatuan yang homogen. Ayatnya dalam surah An Nahl ayat 93," ujarnya.
-- Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. [QS An Nahl: 93] --
"Jadi mustahil kita bisa menciptakan masyarakat yang homogen di atas muka bumi ini, yang terjadi adalah masyarakat heterogen," jelas Nasaruddin, lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
"Heterogenitas itu juga perlu bingkai, dan itulah sebetulnya Bhinneka Tunggal Ika yang dicerminkan dalam Quran."
"Quran tidak pernah mengisyaratkan perlunya ada persatuan dalam pengertian homogenitas di masyarakat."
"Membaca ayat ini, kalau orang paham Bahasa Arab, insya Allah dia akan berkesimpulan tidak mutlak kita harus menciptakan suatu masyarakat yang homogen (satu umat saja)."
"Masyarakat yang heterogen itu yang penting adalah bagaimana wai‘tashimuu bihabli allaahi jamii’an [QS Ali Imran: 103], berpegang teguh kepada sebuah tali, common platform, ini yang paling penting."
"Kita dinamisnya tidak mungkin bisa menyatukan menjadi satu Indonesia yang utuh dalam pengertian homogennya. Tetaplah menjadi sukunya masing-masing, tetapi yang paling penting adalah kita berpegang pada sebuah tali universal yang kita ikuti."
"Inilah yang dimaksud wai‘tashimuu bihabli allaahi jamii’an. Semuanya kalian harus berpegang teguh pada hanya satu tali. Kalau kita di sini itulah Pancasila. Ini perintah Quran, bukan perintah siapa-siapa."
beritasatu.com