Senin, 31 Oktober 2016

kenapa FITNAH lebih Kejam Dr Pembunuhan? Dosa Berlarut2 dan KEHINAANMU, hati2lah...


SUATU DIALOG ANTARA SESEORANG YG MUNGKIN SEKARANG MENJADI MURID HABIB UMAR BIN HAFIDZ.....

“Habib… Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Habib.” Habib Umar terkekeh : “Apa kau serius?” Katanya. Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan : “Saya serius, Habib, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.” Habib Umar terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Habib Umar kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yg bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Habib Umar mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku— “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Habib Umar justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi. “Maaf, Habib?” Aku berusaha memperjelas maksud Habib Umar. Habib Umar tertawa, seperti Habib Umar yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya. Tampaknya Habib Umar benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Habib. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” Habib Umar tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.” Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Habib Umar adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu… “Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Habib Umar Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku. Keesokan harinya, aku menemui Habib Umar dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau. “Ini, Habib bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Habib. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Habib yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Habib. Maafkan saya…” Habib Umar mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya : “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kamu hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya. Aku hanya terdiam mendengar perkataan Habib Umar yang lembut, menyejukkan hatiku. “Kini pulanglah…” kata Habib Umar. Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Habib Umar melanjutkan kalimatnya : “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku tadi…” Aku terkejut mendengarkan permintaan Habib Umar kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yg tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.” Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Habib Umar. “Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Habib Umar. Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui. Tapi aku harus menemukan mereka!

Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan… Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan. Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang ku cabuti dan ku jatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai. Hari berikutnya aku menemui Habib Umar dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Habib Umar : “Ini, Habib, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Habib Umar. Habib Umar terkekeh : “Kini kamu telah belajar sesuatu,” katanya. Aku mengernyitkan dahiku : “Apa yang telah aku pelajari, Habib?” Aku benar-benar tak mengerti. “Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Habib Umar. Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat. “Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung!” Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Habib Umar. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri. “Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.” “Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.” Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim… Astagfirulloh hal-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku. “Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Habib. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat. Habib Umar tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya. “Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang Maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim…” Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu! “Kini kamu telah belajar sesuatu”.

setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata. Demikianlah sahabat dan saudaraku. Itulah kenapa, fitnah itu “KEJAM”. Lebih kejam dari pada pembunuhan. Bayangkan berapa juta wall di medsos yang kita penuhi kalau 1 kali saja posting fitnah dan itu akan menetap abadi sepanjang masa apalagi kalau di share. Maka setiap kita posting mari di telaah dulu fitnah atau bukan? Kiriman hamba Allah

Wallahua`lam

Senin, 10 Oktober 2016

Kamu Ingin Berjaya,ingin Indonesia berjaya,islam berjaya? Hargai ilmu,oranglain dan Toleransilah

Di sebuah forum, saya pernah ditanya, kapan orang Islam bisa menjadi ilmuwan hebat dan mendunia? Si fulan bertanya sembari menyebutkan banyak temuan-temuan berharga di dunia, yang kini justru diprakarsai oleh orang-orang yang kebetulan tidak memeluk agama Islam, sebut saja facebook, yang dibuat Mark Zuckerberg. Padahal, andaikan saja yang menciptakan jejaring sosial itu orang Islam, pasti bisa menjadi amal jariyah dan bisa dimanfaatkan sebagai media dakwah. Apalagi penemuan besar seperti listrik. Listrik sangat membawa manfaat besar bagi umat manusia. Jelas amal jariyahnya gede. Begitu ujar teman saya.

Dari perbincangan tersebut saya teringat era kejayaan Islam. Sebenarnya dunia Islam pernah menjadi mercusuar dunia, tatkala pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Berbagai penemuan penting dan berguna bagi kemanusiaan di berbagai bidang ditemukan oleh ilmuwan muslim saat itu. Di era tersebut pula muncul seorang dokter (tabib) terbaik di dunia, Ibnu Sina (Avicenna). Karya-karyanya menjadi rujukan ilmu kedokteran, hingga sekarang.

Saat itu dunia Islam tengah hebat-hebatnya berkembang, dan dunia Barat masih dalam kejumudan. Amerika? Negara asal Mark Zuckerberg itu bahkan belum ditemukan oleh pelaut Spanyol, Christopher Colombus. Maka cukup ironi apabila statusnya kini berbalik 180 derajat. Di tengah kemajuan bangsa Barat, orang Islam justru jauh tertinggal, baik dari sisi ekonomi, ilmu pengetahuan dan lainnya. Limadza taakharal muslimun, wa taqaddama ghairuhum (mengapa umat Islam mundur dan yang lainnya maju), begitu kegalauan para khotib yang sering saya dengar di tiap khutbah Jum’at.

Lalu apa yang menjadikannya tertinggal? Banyak faktor tentunya, mulai dari faktor yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Namun ada ungkapan menarik dari teman diskusi saya tadi, bahwa ia mengaku geram dengan kondisi umat Islam saat ini. Di timur tengah misalnya, negara yang menjadi garda awal dari gerakan Islam, justru berkecamuk dengan berbagai perang saudara. “Saat Barat sudah memikirkan hidup di planet lain, orang Islam masih saja ribut si A sesat!”

Penyakit umat manusia akhir-akhir ini memang merasa dirinya paling benar. Sayangnya, perasaan paling benar itu tidak dilengkapi dengan sikap toleransi dan tenggang rasa. Walhasil, intimidasi atas nama kebenaran seringkali terjadi. Apalagi ketika para ulama’ atau habaibnya ikut memperkeruh suasana. Hal inilah yang perlu menjadi koreksi bersama. Terlebih di Indonesia yang merupakan negara majemuk yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama.

Lalu, masihkah ada harapan umat Islam bisa menjadi unggulan? Jawabannya tentu bisa, asalkan umat Islam mau dan mampu. Mau artinya punya iktikad yang baik untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut. Dan mampu membekali diri dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan sikap yang arif dalam menggunakan ilmu tersebut. Indonesia yang dihuni oleh komunitas umat muslim terbesar di dunia harus tampil di depan untuk menjadi bangsa yang maju.

Kemajuan Bani Abbasiyah di masa lampau tidak terlepas dari dua hal. Pertama, menghargai ilmu. Kedua, menghargai orang lain. Ilmu sebagai pemberian dari Allah Swt hendaknya dipelajari, dikaji, dan dikembangkan. Sementara manusia, apapun suku dan agamanya, dia tetaplah ciptaan-Nya yang harus dilindungi dan dijamin keselamatannya. Inilah yang terjadi di era kejayaan Bani Abbasiyah. Banyak sekali diskusi-diskusi mengenai hukum fikih (bahtsul masa’il) dan perkembangan mazhab yang sangat cepat waktu itu. Perbedaan pemikiran dengan yang lain tidak lantas menjadikan seseorang itu memusuhi atau melakukan pengafiran (takfiri). Para ulama saat itu menghargai setiap perbedaan yang ada.

Perbedaan yang terjadi, terutama dalam segi penentuan hukum, negara ikut andil dalam memfasilitasi perbedaan-perbedaan pendapat di tengah umat. Misalnya, negara menyediakan hakim yang sesuai dengan mazhab yang dianut oleh warganya dalam memutuskan suatu perkara. Negara tidak mengintervensi warganya untuk memilih mazhab A atau lainnya.

Hubungan yang harmonis antara warga, ulama, dan negara menjadikan kekhalifahan pada saat itu menjadi jaya.

***
Lalu, bagaimana dengan umat Islam di Indonesia saat ini? Walaupun kenyataannya masih banyak kekerasan atas nama agama di Indonesia, namun teman diskusi saya tadi tetap optimis kalau umat Islam di negara tercinta ini bisa menjadi percontohan umat Islam di seluruh dunia. Karena sampai saat ini, toleransi beragama di Indonesia telah diakui oleh dunia internasional. Dengan jiwa toleransinya itu, Indonesia diyakini bisa menjaga dua kunci kemajuan peradaban: menghargai ilmu dan menghargai orang lain. “Bahkan suatu saat nanti, ada orang Islam yang akan menginjakkan kaki di planet mars!” Begitu pendapat teman saya berapi-api.

Akhirnya, di ujung forum diskusi tersebut saya berpendapat, umat Islam di Indonesia itu sebenarnya mampu untuk memimpin peradaban, apalagi ‘hanya’ tinggal di planet mars. Namun masalahnya untuk saat ini sepertinya belum mau. Buktinya umat Islam masih meributkan “ente syiah”, “ente sunni”, “ente komunis”, dll. Wong permasalahan sejarah yang terjadi 1400-an tahun yang lalu saja masih diperdebatkan, bagaimana mau memikirkan masa depan yang masih mengawang-awang?
Wallahhua’lam.

Penulis : Ibnu Faiz Al-Kabumaniy

*) Penulis adalah santri di PP Nailul Ula Plosokuning Sleman

Tulisan ini dimuat di buletin Santri Jaringan Gusdurian Yogyakarta, edisi 4.

Sumber
http://santrigusdur.com/2015/03/toleransi-kunci-kemajuan-umat-islam/

Minggu, 02 Oktober 2016

Mutiara kata GUS MUS

Nasehat

1.Kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.

2.      Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah. Banyak bisa didapat dengan hanya meminta. Tapi memberi akan mendatangkan berkah.

3.      Tidak ada alasan untuk tak bersedekah kepada sesama. Karena sedekah tidak harus berupa harta. Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.

4.      Apa yang kita makan, habis. Apa yang kita simpan, belum tentu kita nikmat. Apa yang kita infakkan justru menjadi rizki yang paling kita perlukan kelak.

5.      Abadikan kebaikanmu dengan melupakannya.

6.      Tawakkal mengiringi upaya. Doa menyertai usaha.

7.      “Berkata baik atau diam” adalah pesan Nabi yang sederhana tapi sungguh penting dan berguna untuk diamalkan dan disosialisasikan.

8.      Janganlah setan terang-terangan engkau laknati dan diam-diam engkau ikuti.

9.      Mau mencari aib orang? Mulailah dari dirimu!

10.  Hati yang bersih dan pikiran yang jernih adalah sesuatu anugerah yang sungguh istimewa. Berbahagialah mereka yang mendapatkannya.

11.  Meski sudah tahu bahwa memakai kaca mata hitam pekat membuat dunia terlihat gelap, tetap saja banyak yang tak mau melepaskannya.

12.  Awalilah usahamu dengan menyebut nama Tuhanmu dan sempurnakanlah dengan berdoa kepadaNya.

13.  Wajah terindahmu ialah saat engkau tersenyum. Dan senyum terindahmu ialah yang terpantul dari hatimu yang damai dan tulus.

14.  Ada pertanyaan yang ‘tidak bertanya’; maka ada jawaban yang ‘tidak menjawab’. Begitu.

15.  Sambutlah pagi dengan menyalami mentari, menyapa burung-burung, menyenyumi bunga-bunga, atau mendoakan kekasih. Jangan awali harimu dengan melaknati langit!

16.  Kalau Anda boleh meyakini pendapatmu, mengapa orang lain tidak boleh?

(Dikutip dari: Mencari Bening Air Mata Renungan A Mustofa Bisri karya Gus Mus dan di twitter beliau serta di website beliau www.gusmus.net).